TEMPO.CO, Jakarta-Anggota Komisi Kesehatan atau Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Irma Suryani Chaniago, berharap ada dokter yang mau mengeksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus pemerkosaan anak di Mojokerto, Jawa Timur.
Hal ini disampaikan Irma menanggapi sikap Ikatan Dokter Indonesia atau IDI yang menolak menjadi eksekutor putusan Pengadilan Negeri Mojokerto dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur itu. "Insya Allah ada dokter yang mau," kata Irma kepada Tempo, Senin, 26 Agustus 2019.
Baca Juga:
Irma pun mempertanyakan sikap IDI yang berkukuh menolak menjadi eksekutor kebiri kimia. Politikus Partai NasDem ini berpendapat organisasi profesi itu seharusnya tak menolak menjalankan regulasi yang sudah dibuat pemerintah. "Jika cuma bermanfaat untuk anggota tapi tidak bermanfaat untuk rakyat, bubarin saja, sepertinya sudah harus ada ikatan dokter lain yang diakui pemerintah sehingga tidak monopoli," kata Irma.
Sikap menolak kebiri kimia ini sudah disampaikan IDI sejak 2016, yakni pada saat pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu inilah yang mengatur ihwal pemberian kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi mengatakan, eksekusi kebiri kimia tersebut bertentangan dengan sumpah, etika, dan disiplin kedokteran yang berlaku internasional. "Sikap IDI tetap sama, bukan menolak hukumannya tapi IDI menolak sebagai eksekutornya, karena melanggar sumpah dan etika kedokteran," kata Adib kepada Tempo, Ahad, 25 Agustus 2019.
Adib menjelaskan, disiplin dan etika kedokteran ini melekat pada profesi dokter di mana saja. Dokter-dokter yang tak bergabung dengan IDI juga terikat dengan etika ini, begitu pula dokter kepolisian dan militer. "Profesi dokter itu melekat di mana saja. Sumpah dan etika kedokteran itu jiwanya profesi dokter," kata spesialis ortopedi dan trauma ini.
Selain IDI, sejumlah pihak sebenarnya juga mengkritik diberlakukannya kebiri kimia ini. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai pemberlakuan kebiri bertentangan dengan hak asasi manusia. Menurut Fickar, hukuman seumur hidup bisa menjadi opsi yang lebih baik ketimbang kebiri kimia.
“Terhadap hukuman mati saja kita tidak setuju bahkan hukuman mati bisa dibilang tidak pas dengan HAM, bertentangan dengan HAM. Nah kebiri juga sama kekerasan juga, saya lebih setuju kalau kemudian kebiri ini diganti saja hukuman seumur hidup,” ujarnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | AULIA ZITA