TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia Abdul Manan mengecam pemblokiran internet di Provinsi Papua dan Papua Barat oleh pemerintah mulai Rabu, 21 Agustus 2019. Ia mengatakan kebijakan tersebut mengganggu akses masyarakat Papua untuk mendapat dan menyampaikan informasi.
"Terutama bagi jurnalis, banyak jurnalis di Papua yang akhirnya terkena dampak langsung dari pemblokiran ini," ujar Manan kepada Tempo, Kamis malam, 22 Agustus 2019.
Menurut Manan, boleh saja pemerintah berdalih melakukan kebijakan itu untuk membatasi persebaran hoaks dengan pemblokiran itu. Namun, di saat yang sama, ia menyebut hak masyarakat mendapatkan informasi juga ikut terberangus. Padahal, ujar Manan, mendapat dan menyampaikan informasi adalah hak asasi manusia.
Belum lagi, dalam kondisi seperti ini, Manan melihat ada potensi berbahaya muncul ketika akses informasi ditutup. Misalnya masyarakat tidak akan mengetahui informasi bila terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh aparat di lokasi konflik. Sehingga, perilaku aparat keamanan pun tidak bisa dikontrol dan diketahui.
"Mana kepentingan yang lebih besar?" kata dia. AJI berpendapat ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menangkal persebaran berita palsu ketimbang memblokir internet. "Pemerintah fokus mengatasi asap tapi tidak memadamkan api."
Menurut dia, akar permasalahan ini adalah sikap rasial dari oknum aparat dan organisasi masyarakat yang dinilai intoleran dan menyebabkan kemarahan hingga kerusuhan. Karena itu, ia menilai pemerintah seyogyanya segera menindak hukum para oknum tersebut sebagai bentuk komitmen dalam menyelesaikan perkara ini.
Kementerian Komunikasi dan Informatika memutuskan memblokir internet di Papua dan Papua Barat, menyusul adanya aksi demonstrasi yang terus berlanjut. Pemblokiran layanan data dilakukan sejak Rabu sore, 21 Agustus 2019. Kebijakan ini diambil untuk mempercepat proses pemulihan situasi. Selain itu, pemblokiran internet oleh kementerian juga menimbang alasan keamanan dan ketertiban.
Pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan belum memastikan kapan akan mencabut kebijakan tersebut.