Di sinilah semua berawal. Aparat itu kemudian menggedor-gedor pintu asrama mahasiswa sambil mengucapkan kata-kata berbau rasial seperti babi, anjing, monyet, dan lainnya.
Tak lama setelah itu, datang anggota ormas yang melempari asrama dengan batu dan meneriakkan yel-yel agar mahasiswa diusir dari Surabaya.
Insiden di Surabaya itu cepat menyebar lewat media sosial. Inilah yang diduga memicu aksi unjuk rasa lanjutan di berbagai kota di Papua. Aksi massa itu kemudian diwarnai kerusuhan di Manokwari hingga Fakfak.
Kementerian Informasi dan Komunikasi sebelumnya juga sempat memperlambat akses internet di Papua. "Seperti Manokwari, Jayapura, dan beberapa tempat lain," kata Pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu pada 19 Agustus 2019.
Upaya ini ternyata tak menyurutkan aksi massa di Tanah Papua. Massa muncul di beberapa wilayah lain menyuarakan penolakan terhadap rasisme. Mereka juga menuntut kemerdekaan Papua.
Kominfo kembali menggelapkan Papua dari dunia maya. Ferdinandus Setu mengatakan ada dua syarat layanan telekomunikasi kembali dipulihkan.
"Syaratnya, pertama kami melihat situasi normal," ujar Ferdinandus alias Nando saat dihubungi Tempo pada Kamis, 22 Agustus 2019.
Nando mengatakan, situasi bakal dipandang normal bila tensi demonstran mereda. Tandanya ialah tidak ada lagi kerusuhan dan aksi di jalanan.
Kedua, jumlah penyebaran konten-konten hoaks di Papua yang mengandung narasi provokatif menurun. Nando mengatakan, dalam tiga hari, telah ditemukan 62 akun yang aktif menyebarkan konten sensitif dan memantik kericuhan.
Konten-konten tersebut tersebar melalui platform WhatsApp Group, Instagram, dan Facebook. "Kalau jumlah item hoaks secara jumlah cuma 2-3 terkait dengan penculikan dan mahasiswa papua yang dinyatakan tewas," ujarnya. Namun, konten provokatif tersebar dengan intensitas yang rapat.
Nando belum dapat memastikan kapan Kominfo akan mencabut kebijakan blokir. Saat ini kementerian mengevaluasi setiap 3 jam.
Adapun Polri mencatat ada lima akun yang diduga menyebarkan konten provokatif terkait berita bohong atau hoaks yang menjadi penyebab ricuh di Papua dan Papua Barat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan lima akun tersebut berasal dari Twitter.
“Untuk Twitter bertambah kurang lebih ada lima akun lagi, untuk akun Instagram dan Youtube ada beberapa akun lagi, semua masih di-profiling oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim,” kata Dedi melalui pesan singkat, pada Kamis, 22 Agustus 2019.
Menurut Dedi sebagian besar akun tersebut bersifat anonim, sehingga tidak mudah melacaknya. Namun Dedi meyakinkan pihaknya bisa segera mendapatkan identitas pemilik akun dan menangkapnya.