TEMPO.CO, Jakarta-Masyarakat sipil yang terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), serta Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif memberikan laporan hasil evaluasi Pemilu 2019 kepada Komisi Pemilihan Umum.
"Kita harus ingat evaluasi pemilu adalah keniscayaan. Bukan menjadikan ini sebagai praktek rutin dan bisnis as usual. Praktik 2019 harus dievalusasi matang dan mendalam agar agenda 2020 bisa mengambil pelajaran," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini di Kantor KPU Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2019.
Titi menjelaskan, setidaknya ada tiga aspek evaluasi pemilu 2019. Pertama mengenai aspek kerangka hukum pemilu. Menurut dia Pemilu 2019 telah meraih banyak capaian jika dibandingkan pemilu sebelumnya. "Namun masih menyimpan ruang-ruang yang menimbilkan permasalahan. Masih ada celah yang membuat tata kelola dan keadilan pemilu menghadapi hambatan," kata Titi.
Kedua, aspek tata kelola pemilu. Yaitu aspek yang mengatur pengelolaan, pengorganisasian tahapan pemilu hingga implementasinya. Dia mencontohkan dari hal teknis, yaitu lima surat suara secara serentak yang tidak sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. "Ini memberi beban bagi tata kelola pemilu dan tidak sanggup memenuhi luberjurdil," katanya.
Ketiga, aspek keadilan pemilu atau mekanisme penyelesaian hukum pemilu (electoral justice). Titi menilai desain penegakan pemilu kini makin terang benderang dengan sikap Mahkamah Konstitusi yang menempatkan keberadaan Bawaslu sebagai electoral justice. Kewenangan menyelesaikan permasalahan hukum yang berdampak pada hasil pemilu itu dinilainha tidak berdasarkan kepastian hukum.
Tiga aspek evaluasi itu mesti dilihat secara holistik dan tidak bisa dipisahkan agar hasilnha komprehensif. Titi berpesan evaluasi itu dapat digunakan dalam Pilkada 2020. "Kita tidak boleh mengulangi cela-cela dalam kerangka hukum pilkada," katanya.