TEMPO.CO, Surabaya-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya akan melaporkan Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Sandi Nugroho ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Timur.
KontraS menilai penanganan polisi dalam menangkap 43 mahasiswa Papua di asramanya melanggar prosedur. “Polisi tak mengindahkan tata cara penangkapan,” kata Koordinator KontraS Surabaya Fatkhul Khoir di kantornya, Selasa, 20 Agustus 2019.
Menurut Khoir, sejumlah prosedur yang dilanggar polisi antara lain melakukan upaya paksa kepada mahasiswa, padahal status mereka masih saksi kasus pembuangan bendera merah putih ke selokan. Selain itu, tidak ada surat panggilan pertama hingga ketiga seperti lazimnya memanggil saksi atau tersangka. “Polisi langsung menerobos masuk asrama, menangkap paksa disertai kekerasan dan lontaran gas air mata. Akibatnya, beberapa mahasiswa luka-luka,” kata dia.
Dikonfirmasi terpisah, Sandi Nugroho mengatakan tak masalah dilaporkan KontraS ke propam. Menurut Sandi, dia tidak alergi terhadap kritik. “Alhamdulillah kalau mau dilaporkan, namanya manusia tentu tak ada yang sempurna. KontraS tentu sedang menjalankan tugas, sama dengan kami juga menjalankan tugas,” kata Sandi di Gedung Negara Grahadi Surabaya Selasa sore.
Namun Sandi menampik polisi melanggar prosedur saat mengamankan 43 mahasiswa di dalam asrama. Selain telah membawa surat perintah dan surat perintah penggeledahan, polisi juga telah melakukan upaya persuasif sejak pukul 10.00 hingga 17.00, Sabtu, 17 Agustus.
“Kami telah minta bantuan RT, RW, Lurah, Camat, hingga perkumpulan warga Papua di Surabaya agar mahasiswa mau kooperatif, namun ditolak. Akhirnya, kami melakukan penegakkan hukum sebagai upaya terakhir,” kata Sandi.
Menurut Sandi, evakuasi mahasiswa Papua ke kantor polisi untuk menindaklanjuti laporan gabungan ormas yang menyebutkan adanya bendera merah putih dibuang ke selokan pada 16 Agustus yang diduga dilakukan mahasiswa Papua. Sandi menampik istilah upaya paksa. Ihwal senjata yang dibawa polisi saat menggerebek, ia berdalih petugas menemukan senjata tajam dan panah-panah kecil di dalam asrama sehingga dianggap membahayakan.
Polisi, kata Sandi, hanya ingin mengklarifikasi benar tidaknya laporan gabungan ormas tersebut. Semula, kata Sandi, polisi hanya ingin membawa 15 mahasiswa yang ditengarai terlibat. Namun karena seluruh penghuni asrama ingin dibawa, akhirnua semua diangkut ke kantor polisi. “Namun setelah kami periksa, mahasiswa kami kembalikan lagi karena kurang bukti. Kami juga menegakkan azas praduga tak bersalah,” katanya.
NUR HADI | KUKUH S. WIBOWO