TEMPO.CO, Jakarta-Kaukus Perempuan Parlemen Republik lndonesia (KPPRI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), dan Maju Perempuan Indonesia mengecam keras tindakan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah dan Sekjen Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mencabut undangan kehadiran Gusti Kanjeng Ratu Hemas dalam acara Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT RI.
GKR Hemas yang sudah memegang undangan, secara sepihak dicabut kehadirannya melalui surat yang dikirim Sekjen DPD Reydonnyzar Moenek serta surat dari Sekjen MPR Ma'ruf Cahyono. Kedua surat tersebut diterima oleh GKR Hemas pada pukul 02.00, Jumat, 16 Agustus 2019.
"Surat pencabutan undangan tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik. Khususnya berkaitan dengan asas kepastian hukum, ketidakberpihakan, kecermatan, dan pelayanan yang baik," kata ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam konferensi pers Pernyataan Sikap Gerakan Perempuan di Jakarta, Ahad, 18 Agustus 2019.
Dasar pembatalan undangan tersebut adalah Surat Keputusan BK DPD RI No. 2 Tahun 2019 tentang Pemberhentian GKR Hemas No. 8-53 sebagai anggota DPD dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Padahal, secara faktual sampai hari ini GKR Hemas adalah anggota DPD yang sah karena belum ada Keputusan Presiden yang menetapkan pemberhentian berdasarkan SK BK tersebut.
Bivitri menuturkan harus pula dipahami bahwa sikap politik GKR Hemas yang berbeda dengan kesimpulan BK DPD adalah refleksi dari upaya penegakkan aturan yang diyakininya benar. Anggota DPD memegang jabatannya karena dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme konstitusional pemilihan umum. "Oleh karena itu mandat rakyat yang diperoleh anggota DPD terpilih tidak boleh secara sepihak dicabut tanpa melalui prosedur yang konstitusional pula," katanya.
Menurut Gerakan Perempuan pencabutan undangan yang sudah mepet dengan waktu acara, selain memperlihatkan sikap tidak profesional dalam administrasi pemerintahan, juga harus dilihat sebagai ancaman serius pada keberadaan perempuan di ranah politik. GKR Hemas, ujar Bivitri, tidak bisa diposisikan ansich sebagai individu politik, namun juga bagian dari gerakan perjuangan penguatan keterwakilan perempuan di Indonesia.
"Dalam banyak hal, harus diakui perempuan masih sangat rentan menjadi korban kekerasan politik. Baik berupa stigma yang menempatkan perempuan, pada posisi inferior, maupun tindakan sewenang-wenang yang lebih mudah dilakukan karena subyek yang disasar adalah perempuan," ujarnya.
HALIDA BUNGA FISANDRA