TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa anggota komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso menerima gratifikasi senilai Sin$ 700 ribu dan Rp 600 juta. Menurut jaksa KPK, uang itu berasal dari lima sumber berbeda.
"Penerimaan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa ke KPK, dalam tenggang waktu 30 hari kerja," kata jaksa KPK, Ikhsan Fernandi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019.
Jaksa Ikhsan mengatakan pada awal 2016, Bowo menerima Sin$ 250 ribu saat menjabat anggota Badan Anggaran DPR. Ia menerima itu karena mengusulkan Kabupaten Kepulauan Meranti mendapatkan Dana Alokasi Khusus Fisik pada APBN 2016.
Pada 2016, Bowo kembali menerima uang tunai sejumlah Sin$ 50 ribu. Uang itu diterima saat Bowo mengikuti acara Musyawarah Nasional Partai Golkar di Denpasar Bali untuk pemilihan ketua umum periode tahun 2016-2019. Setya Novanto terpilih menjadi ketum Golkar pada Munas tersebut.
Setelah itu, pada 26 Juli 2017, Bowo kembali menerima uang tunai senilai Sin$200 ribu. Jaksa menyebut penerimaan ini terkait pembahasan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Gula Rafinasi. Dalam proses penyidikan, Bowo mengaku mendapatkan uang ini dari orang utusan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. KPK memanggil Enggar untuk diperiksa sebanyak tiga kali, namun ia selalu tak hadir. Enggar membantah memberikan uang itu.
Jaksa Ikhsan melanjutkan Bowo kembali menerima uang sejumlah Sin$200 ribu pada 22 Agustus 2019. Menurut KPK, penerimaan ini terkait kedudukan Bowo di Komisi VI yang bermitra dengan PT PLN.
Selain penerimaan itu, pada Februari 2017, Bowo juga menerima Rp 600 juta terkait pembahasan program pengembangan pasar oleh Kementerian Perdagangan.
Tim KPK menyita duit gratifikasi itu dari kantor milik Bowo, PT Inersia, di Pejaten, Jakarta Selatan pada 29 Maret 2019. Tim menemukan uang itu sudah ditukarkan dalam mata uang rupiah pecahan Rp 20 ribu. Uang tersebut telah dimasukan ke dalam amplop putih berjumlah 400.015. Amplop disimpan dalam 4 ribu boks yang ditaruh dalam 81 kardus dan dua kontainer plastik.
Duit diduga akan digunakan untuk keperluan kampanye Bowo dalam Pemilihan Legislatif 2019. "Untuk kebutuhan kampanye terdakwa sebagai calon anggota DPR dapil Jawa Tengah," kata Ikhsan.
Selain menerima gratifikasi, KPK juga mendakwa Bowo menerima suap US$ 163.733 dan Rp 311 juta dari General Manager Komersial PT Humpuss Transportasi Kimia Asty Winasti. Suap dengan jumlah sekitar Rp 2,5 miliar itu diberikan agar Bowo membantu PT Humpuss mendapatkan kontrak kerja sama pengangkutan amoniak milik PT Pupuk Indonesia Logistik.
Jaksa mengatakan Bowo juga menerima uang dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera Lamidi Jimat sejumlah Rp300 juta. Uang diberikan karena Bowo membantu perusahaan kapal itu menagih utang sebesar Rp2 miliar dari PT Djakarta Lloyd.
Utang itu merupakan pembayaran pekerjaan jasa angkutan dan pengadaan BBM yang sudah diberikan PT Ardila ke Djakarta Lloyd pada 2009. Selain itu, Lamidi juga meminta bantuan Bowo melobi Djakarta Lloyd agar perusahaannya bisa mendapatkan pekerjaan penyediaan BBM jenis Marine Fuel Oil (MFO) untuk kapal-kapal Djakarta Lloyd.
Atas permintaan bantuan itu, Bowo Sidik mengatur pertemuan antara Lamidi dan Direktur Utama PT Djakarta Lloyd Suyoto. Setelah masalah utang selesai dan PT Ardila mendapatkan pekerjaan itu, Lamidi menyerahkan duit sebanyak Rp300 juta secara bertahap pada Oktober hingga Desember 2019.