TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi membatalkan rencana pengesahan Rancangan Undang-undang atau RUU Pertanahan. Koalisi juga menyatakan menolak RUU yang dianggap bermasalah tersebut.
"Kami mendesak Ketua DPR RI dan Presiden RI untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika lewat keterangan tertulis, Rabu, 14 Agustus 2019.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta agar RUU Pertanahan dapat rampung sebelum masa pemerintahan periode pertama berakhir. Hal ini disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil seusai rapat kabinet di Istana Merdeka pada Senin lalu, 12 Agustus 2019.
Dewi Kartika menjelaskan, Indonesia saat ini mengalami lima pokok krisis agraria, yakni ketimpangan tajam struktur agraria, maraknya konflik agraria struktural, kerusakan ekologis yang meluas, laju cepat alih fungsi pertanian ke nonpertanian, dan kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
"Merujuk pada naskah rancangan terakhir, kami memandang bahwa draf aturan itu gagal menjawab lima krisis itu," kata Dewi.
Ada sejumlah hal yang disorot oleh koalisi masyarakat sipil. Menurut Dewi, RUU tersebut kontradiktif dengan semangat reforma agraria. Dalam draf RUU ini reforma agraria dikerdilkan menjadi sekadar program penataan aset dan akses, tetapi tidak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, dan pendanaan reforma agraria. "Juga tidak ada prioritas subyek dan obyek reforma agraria," kata Dewi.
Dewi juga menilai RUU tersebut tidak mengatur bagaimana penyelesaian konflik agraria yang sifatnya struktural. Konflik agraria, menurut koalisi, tak bisa diselesaikan dengan sengketa pertanahan biasa melalui 'win-win solution', mediasi, atau pengadilan pertanahan.
Masalah lainnya yang dikritik dari rancangan aturan itu yakni gagasan adanya Bank Tanah. Keberadaan Bank Tanah ini ditengarai untuk menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk proyek infrastruktur.
Gagasan Bank Tanah ini juga dikritik lantaran sumber pendanaannya tidak hanya dari anggaran negara, tetapi bisa berasal dari penyertaan modal, kerja sama pihak ketiga, pinjaman, dan sumber lainnya.
"Jika dibentuk Bank Tanah berisiko memperparah ketimpangan, konflik, dan melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah dan meneruskan praktik spekulan tanah," ucap Dewi.
Adapun sejumlah masalah lain yang disorot dari RUU Pertanahan di antaranya terkait pengingkaran terhadap hak masyarakat adat, hak pengelolaan (HPL), hak guna usaha yang tetap diprioritaskan untuk pemodal besar, dan langgengnya dualisme kewenangan di dua kementerian, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.