TEMPO.CO, Mekah - Menjadi menteri agama sejak 2014, Lukman Hakim Saifuddin terus-menerus dimintai privilese naik haji. "Banyak. Mulai sesama menteri, anggota DPR, kepala daerah, sampai kiai dan ulama," katanya kepada Tempo di Mekah, Rabu, 7 Agustus 2019.
Lukman, 56 tahun, menolaknya satu per satu. Menurut dia, salah satu hal yang dia benahi adalah pemangkasan kewenangan menteri agama mengatur kuota haji, yang tahun ini berjumlah 214 ribu.
Baca Juga:
Dulu, dia melanjutkan, menteri bisa kasih kuota ke saudara, kerabat, dan lainnya. "Tidak salah juga, karena memang belum ada aturannya," kata Lukman. Sekarang, kuota hanya untuk petugas dan jamaah. "Presiden pun yang minta, tidak bisa."
Aturan yang Lukman bikin itu membuatnya kelimpungan menolak permintaan naik haji, termasuk dari kalangan keluarga. "Mereka bilang, 'masak menteri agama nggak bisa bantu'," ujar putra Saifuddin Zuhri, menteri agama era Bung Karno, ini.
Lukman memastikan semua pejabat yang berhaji menggunakan kuota resmi. Kalau tidak jemaah, ya petugas. Rombongan DPR yang dipimpin Fachri Hamzah yang sekarang di Mekah, misalnya, menggunakan jatah petugas sebagai bagian fungsi pengawasan.
Jatah petugas, Lukman melanjutkan, juga biasa dipakai kepala daerah sebagai Tim Pembimbing Ibadah Haji Daerah. "Tapi tiap daerah paling cuma lima," katanya.
Antrian haji di Indonesia mencapai rata-rata 20 tahun. Artinya, jika calon mendaftar hari ini dengan menyetor Rp 25 juta ke bank, baru bisa berangkat ke Tanah Suci pada 2039. "Kalau wewenang menteri soal kuota tidak diatur, mengusik rasa keadilan," kata Lukman.
REZA MAULANA (MEKAH)