Pada umur 21 tahun, Maimun Zubair bertolak ke Makkah, Arab Saudi dengan didampingi kakeknya, Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Makkah, Maimun mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly, dan beberapa ulama lainnya.
Sepulang dari Makkah, Maimun juga mengaji kepada beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.
Mulai 1965, Maimun fokus mengembangkan Pondok Pesantren Al Anwar Sarang, Rembang. Pesantren ini kemudian menjadi rujukan para santri dalam belajar kitab kuning dan turats (kitab yang berisi buah pikiran dari ulama terdahulu yang diwariskan dari generasi ke generasi) secara komprehensif.
Selain bergelut di PPP, Maimun juga seorang ulama Nahdlatul Ulama. Kendati banyak tokoh NU berlabuh ke Partai Kebangkitan Bangsa ketika partai itu berdiri pada 1998, Maimun tetap bertahan di PPP. Di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Maimun menjabat sebagai Mustasyar.
Maimun Zubair juga dikenal sebagai ahli fiqih. Banyak pihak juga mengenangnya sebagai sosok yang nasionalis dan meneduhkan di tengah hingar bingar politik yang diwarnai konflik identitas.
"Kepergian Mbah Moen tidak hanya kehilangan bagi PPP maupun NU, tidak juga hanya kehilangan bagi umat Islam, tapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia," kata Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Gomar Gultom kepada Tempo, Selasa, 6 Agustus 2019.