TEMPO.CO, Jakarta - Suharso Monoarfa, Pelaksana tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, menceritakan bagaimana kiprah KH Maimun Zubair atau Mbah Moen menyelamatkan biduk partai itu ketika terkena gelombang. Kiai sepuh yang dihormati di kalangan ulama itu wafat hari ini, Selasa, 6 Agustus 2019, sekitar pukul 08.17 WIB di Mekah, Arab Saudi.
Empasan ombak menerpa partai Kabah pada saat sang ketua umum, Romahurmuziy, dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap di Kementerian Agama pada pertengahan Maret silam. “Waktu kejadian Romi, Mbah Moen melawan arus,” ucap Suharso kepada Tempo hari ini.
Dalam sebuah pertemuan, Mbah Moen yang menjabat Ketua Majelis Syariah PPP tiba-tiba meminta Suharso menjadi pelaksana tugas ketua umum. “Tangan saya dipegang, kata beliau saya tidak boleh menolak,” ucapnya.
Dia menerangkan bahwa waktu itu dirinya menjabat anggota Dewan Petimbangan Presiden (Wantimpres) sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan PPP. Suharso bisa masuk Watimpres justru karena dia bukan pengurus eksekutif partai, sesuai dengan syarat yang dipatok oleh Presiden Jokowi. Karena kesibukan di Watimpres itulah sudah sekitar 1,5 tahun Suharso tak aktif mengurusi PPP.
Jika permintaan Mbah Moen dipenuhi, PPP harus kehilangan posisi anggota Wantimpres. Suharso pun sudah lama tak aktif mengurusi PPP. Apalagi, saat itu tak sampai satu bulan menjelang coblosan Pemilu dan Pipres 2019 pada April lalu.
Dasar politikus, walau menyatakan sepakat tak akan menolak, Suharso tetap mengajukan satu syarat kepada kiai dari Sarang, Rembang, Jawa Tengah, tersebut. Syaratnya adalah Suharso minta ditemani seorang kawan kader PPP yang juga sudah beberapa lama tak aktif di PPP.
Di luar perkiraan, kontan Mbah Moen menyetujuinya. “Kenangan terindah, saya mendapatkan warisan (PPP) langsung dari ulama besar itu.”
Lebih jauh, Suharso tak sepakat jika ada yang menilai Mbah Moen adalah ulama yang politikus atau politikus yang ulama hanya karena dia kader PPP dan pernah menjabat anggota DPRD dan MPR pada era Orde Baru. Suharso mengatakan KH Maimun Zubair sejatinya membela masyarakat di sekitar pesantrennya, Al-Anwar, di Sarang, Rembang, tapi melalui jalur politik.
“Bangsa ini kehilangan putra daerah, seorang ulama nasionalis,” tutur Suharso menutup ceritanya tentang almarhum Mbah Moen.
JOBPIE SUGIHARTO