TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Fraksi Partai Golkar Majelis Permusyawaratan Rakyat Zainudin Amali meminta ada kepastian ihwal agenda amandemen Undang-undang Dasar 1945. Dia menilai agenda harus jelas dan tak ada agenda tambahan di tengah berlangsungnya pembahasan nanti.
"Harus mendapat jaminan supaya tidak ada agenda lain, tambahan yang tidak terencana, masuk di tengah jalan. Karena hal itu tidak bisa dihindarkan kalau amandemen sudah bergulir," kata Amali lewat keterangan tertulis, Sabtu, 3 Agustus 2019.
MPR periode 2014-2019 tengah mengkaji draf amandemen terbatas terhadap UUD 1945 perubahan kelima. Tahun lalu, MPR membentuk panitia adhoc GBHN dan panitia adhoc non-GBHN untuk menyusun draf amandemen. Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, draf GBHN itu telah rampung disusun dan didistribusikan kepada setiap fraksi untuk dipelajari. Mengingat masa kerja MPR bakal segera habis, pembahasan amandemen terbatas itu akan dilimpahkan ke periode selanjutnya.
Amali menyinggung soal agenda mengaktifkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN yang tengah digagas PDI Perjuangan. Menurut dia, ada perbedaan mendasar antara era sebelumnya ketika GBHN berlaku dan kondisi saat ini. Perbedaan mendasarnya ialah pemilihan presiden yang dulu dilakukan oleh MPR sehingga lazim saja jika dulu MPR membekali presiden dengan GBHN untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Presiden pun harus menyampaikan pertanggungjawaban kepada MPR.
Sekarang, Amali melanjutkan, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden juga memiliki visi misinya sendiri yang telah dikampanyekan kepada publik. Dengan kondisi ini, dia mempertanyakan urgensi dilakukannya amandemen UUD 1945 dan pemberlakuan kembali GBHN.
"Pertanyaan besarnya adalah masih perlukah GBHN sekarang ini, sementara sistem pemilu sudah berubah dan presiden bukan lagi menjadi mandataris MPR?" ucap politikus senior Golkar ini. "Ini dua hal yang perlu kita jawab dulu sebelum kita masuk kepada rencana amandemen UUD 1945."
BUDIARTI UTAMI PUTRI