INFO NASIONAL — Pangkal terjadinya kegaduhan dalam pemilu 2019 karena bangsa Indonesia melupakan jatidiri bangsanya. Karena bangsa Indonesia melupakan konsensus prinsip berbangsa dan bernegara yang sudah disepakati bersama pada 18 Agustus 1945. Jika hulunya rusak maka sudah pasti hilirnya akan berantakan.
Demikian disampaikan Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR RI, menjawab diskusi bertema "Hiruk Pikuk Politik Pasca Pemilu: Implikasinya bagi Kecerdasan Rakyat", yang diinisiasi oleh Perkumpulan Senior GMKI di Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2019.
Terhadap konsensus berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, sama sekali tidak boleh dinegosiasikan. Apalagi hanya untuk kepentingan politik pragmatis guna meraih dukungan suara dalam kontestasi pemilu.
"Jangan ada kompromi. Jangan ada negosiasi dalam keadaan apa pun," ujar Wakil Sekjen PDI Perjuangan tersebut.
Terkait komposisi kabinet, Basarah menyerahkan sepenuhnya kepada Joko Widodo. Basarah meminta kepada semua pihak untuk memberikan keleluasaan kepada Joko Widodo untuk menyusun kabinet. Joko Widodo dipastikan akan bertindak arif dan bijaksana dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi pembantunya.
"Tentu Pak Jokowi akan berbicara dengan para ketua umum partai politik. Semua boleh meminta, namun Pak Jokowi yang akan memutuskan. Semua boleh bermanuver namun semua berpulang pada hak prerogratif Presiden. Karena berdasar Konstitusi, penyusunan komposisi kabinet adalah kewenangan Presiden," ucapnya.
Di lokasi yang sama, M. Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, menyerukan perlunya merumuskan agenda besar republik bersama-sama. Wujud nyatanya adalah membentuk poros politik Empat Pilar konsensus berbangsa-bernegara, sebagaimana sudah disosialisasikan oleh MPR RI, poluler dengan sebutan Empat Pilar MPR RI.
"Upaya penguatan mental ideologi bangsa sebagaimana digagas almarhum Taufiq Kiemas relevan untuk diterapkan. Inilah agenda besar republik, membangun poros politik Empat Pilar untuk menghadapi kekuatan kelompok di luar itu. Sebab, kontestasi pemilu 2024 akan lebih keras dan brutal. Bukan tidak mustahil segala cara dihalalkan untuk menang," ujar Qodari.
Pada bagian lain, Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, memberikan catatan terhadap pelaksanaan pemilu 2019. Salah satunya adalah terjadinya brutalisme politik, dengan menggunakan dalil-dalil agama sebagai basis argumentasi dan untuk menyerang lawan politik.
"Bertemunya elite partai politik layak diapresiasi dan sangat bermanfaat untuk relaksasi ketegangan. Brutalisme politik sudah kita maafkan, namun jangan dilupakan. Untuk kematangan demokrasi kita, perlukan kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan," kata mantan Direktur Eksekutif Syafi'i Ma'arif Institute. (*)