TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil menolak rencana pemerintah menempatkan prajurit TNI aktif di jabatan sipil dengan mengubah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI untuk merestrukturisasi dan mereorganisasi lembaga militer tersebut.
Koalisi lembaga swadaya masyarakat itu mendesak pemerintah untuk menghapus peluang prajurit TNI aktif di jabatan sipil karena berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI ala Orde Baru. Revisi Undang-Undang TNI justru dinilai akan menghambat reformasi di tubuh TNI, bahkan menjadi ancaman bagi tata pemerintahan negara yang demokratis.
“Hapus ketentuan Pasal 47 Ayat (2) huruf q draf Revisi UU TNI dan mengkaji kembali penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan kementerian/lembaga sipil,” ujar anggota Koalisi dari Setara Institute, Iksan Yosari, di kantor Imparsial, Jalan Tebet Dalam, Jakarta Selatan, hari ini, Kamis, 1 Agustus 2019.
Dalam draf RUU Perubahan Undang-Undang TNI, pemerintah mengubah ketentuan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI sehingga terdapat enam kementerian/lembaga tambahan yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. kementerian/lembaga tersebut adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan Badan Keamanan Laut.
Maka total terdapat 16 kementerian/lembaga yang dapat dipimpin oleh prajurit TNI aktif. Bahkan, Pasal 47 Ayat (2) huruf q draf RUU TNI juga membuka ruang yang sangat luas bagi prajurit TNI aktif untuk dapat menduduki jabatan sipil sesuai kebijakan presiden.
Koalisi memandang pengaturan tentang penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil terlalu luas dan tanpa pertimbangan yang matang serta dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI. Fungsi itu berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republk Indonesia) yang telah dihapuskan setelah Reformasi 1998.
Koalisi pun mendesak DPR agar tidak mendukung upaya pemerintah merebvisi Undang-Undang TNI yang tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan demokratisasi. Iksan Yosari melihat tidak terdapatnya faktor mendesak sehingga haryus diberlakukan prajurit TNI aktif di jabatan sipil. “Ini justru menjadi langkah mundur dalam demokrasi dan reformasi,” tuturnya.
FIKRI ARIGI