TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto membeberkan tiga agenda partai terkait aturan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Airlangga mengatakan agenda ini akan dibicarakan dengan partai koalisi pengusung Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin di parlemen.
"Kami akan membahas dengan partai-partai lain termasuk partai koalisi," kata Airlangga dalam acara Musyawarah Pimpinan Nasional V Kosgoro 1957 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019.
Pertama, kata Airlangga, Golkar berencana mengusulkan agar sistem proporsional tertutup kembali diterapkan dalam pemilihan umum mendatang. "Dalam UU pemilu, sistem pemilu yang sekarang terbuka mungkin sebagian kita dorong untuk sistem proporsional tertutup," kata dia.
Sistem pemilihan legislatif yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 menggunakan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem ini, masyarakat dapat memilih langsung calon-calon yang akan duduk di legislatif.
Sebaliknya, sistem proporsional tertutup berarti partai politik yang menetapkan kader-kader yang bakal dikirim ke parlemen. Dalam sistem ini masyarakat hanya memilih partai, bukan calon legislatif.
Dalam pembahasan revisi UU Pemilu sebelumnya, sistem proporsional tertutup banyak menuai kritik karena berpotensi mempersempit ruang partisipasi perempuan dalam politik. Di sisi lain, sistem proporsional tertutup dinilai dapat memangkas biaya politik dan meminimalisasi politik uang.
Selain akan mendorong kembali sistem proporsional tertutup ini, Airlangga berujar Golkar memiliki agenda lain terkait aturan pemilu. Agenda itu ialah merevisi pemilu serentak dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
Ketiga, Airlangga mengatakan Golkar akan mendorong evaluasi pelaksanaan pilkada serentak 2024. Jika merujuk UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah serentak akan digelar pada 2024. Adapun para kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2022 dan 2023 akan digantikan oleh pelaksana tugas hingga pilkada serentak 2024 digelar.
"Pilkada yang direncanakan secara masif 2020-2022 perlu kita evaluasi karena mungkin tidak pada tempatnya waktu pemilu dan masa jabatan (habis) harus menunggu dua tahun," ujar Menteri Perindustrian ini.