TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah ahli hukum meyakini Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK) 2019-2023 keliru menafsirkan syarat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dalam proses seleksi. Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan LHKPN wajib disetorkan saat awal pendaftaran.
Zainal menuturkan syarat mencantumkan LHKPN ada di Undang-Undang KPK Pasal 29 tentang persyaratan menjadi pimpinan komisi antikorupsi. Huruf k Pasal itu menyatakan, untuk dapat diangkat, pimpinan KPK wajib mengumumkan harta kekayaannya sesuai peraturan yang berlaku.
"Pasal itu mengatakan untuk dapat dipilih, berarti itu dalam proses seleksi, saya tidak tahu kenapa pansel menafsirkan berbeda," kata dia dalam diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019.
Merujuk aturan yang sama, Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih punya tafsir berbeda. Ia mengatakan calon pimpinan wajib melaporkan LHKPN bila sudah terpilih. Ia mengatakan pada tahap pendaftaran, capim hanya wajib menandatangani surat menyanggupi melaporkan harta kekayaan bila terpilih kelak. "Itu syarat untuk diangkat, bukan untuk mengikuti seleksi," kata dia.
Sikap pansel terkait LHKPN ini menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil. Musababnya, ada sejumlah calon yang ditengarai tidak patuh LHKPN. Aturan yang mendasari kewajiban LHKPN adalah UU Nomor 28 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuan itu, penyelenggara wajib membuat LHKPN saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun.
Zainal meminta pansel memperhatikan latar belakang lahirnya kewajiban LHKPN ini. Menurut dia, KPK lahir dari peleburan Komite Penyelamatan Kekayaan Negara. Sejak KPK ada, tugas KPKN menerima laporan harta kekayaan disertakan ke komisi antikorupsi. "Harusnya proses seleksi KPK menaruh kepercayaan tinggi pada LHKPN."
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari juga menunjukan kesalahan berpikir pansel dalam menafsirkan syarat LHKPN. Feri menuturkan dalam pasal 29 UU KPK menyebutkan untuk dapat diangkat pimpinan KPK harus warga negara indonesia. Bila penafsiran pansel soal LHKPN digunakan untuk poin itu, maka warga negara asing bisa mencalonkan diri menjadi capim KPK. "Kenapa orang asing tidak diperbolehkan mendaftar, kan nanti tinggal jadi WNI bila sudah terpilih," kata dia.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Luhut Pangaribuan menyatakan hal serupa. Ia mengatakan LHKPN adalah syarat pendaftaran, bukan ketika terpilih. Ia mengatakan capim yang terbukti tidak patuh LHKPN, harus didiskualifikasi oleh Pansel KPK. "Mereka sudah tidak layak dipilih," ujar dia.