TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil menilai rezim Presiden Joko Widodo atau Jokowi menutup-nutupi proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK). Indikasinya adalah sulitnya mengakses Keputusan Presiden Nomor 54/P tahun 2019 tentang tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan Tahun 2019-2023 untuk publik.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ingin menggugat pembentukan Pansel ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara. LBH telah mengirimkan surat permintaan salinan Keppres itu kepada Kementerian Sekretariat Negara pada 10 Juli 2019. Namun Setneg menolak dengan alasan yang dianggap Nelson tidak jelas. "Kementerian Sekretariat Negara menyatakan tidak dapat memberikan Kepres itu dengan alasan hanya untuk anggota Pansel," kata Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta, Ahad, 28 Juli 2019.
Menurut Nelson, berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Informasi Publik, Keppres Pansel KPK itu bukan termasuk informasi yang dikecualikan. "Penolakan ini membuktikan rezim Jokowi tertutup. Hanya untuk peraturan saja tertutup."
Nelson menuturkan ini pertama kali pihaknya ditolak saat meminta salinan perundang-undangan. Ia menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lebih terbuka karena sering memberikan salinan perundang-undangan lengkap dengan naskah akademiknya.
Sikap pemerintah ini, kata Nelson, berbeda jauh dengan pembentukan Pansel KPK di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berdasarkan penelusuran Tempo di laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Sekretariat Negara, K eppres tentang pembentukan Pansel KPK yang ditampilkan hanya saat pemerintahan SBY.
Selain itu, merujuk pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebuah keputusan presiden dapat diberikan kepada pihak yang terlibat. Dalam proses seleksi pemerintah membuka ruang untuk masukan publik. Nelson menilai dengan sendirinya pihak terkait yang terlibat dapat dimaknai sebagai publik.
"Dengan tidak diberikannya salinan Keppres itu dapat diduga Pansel dijalankan dengan cara-cara yang tertutup."
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan sikap yang sama pemerintah juga ditunjukkan oleh para anggota Pansel capim KPK. Menurut dia, Pansel KPK tidak berani memperlihatkan Keppres itu kepada publik. "Jadi Keppres-nya masih misterius," ujarnya