TEMPO.CO, Jakarta - Hidup selama 23 tahun dalam bayang-bayang stigma PKI, membuat Ketua Forum Komunikasi Kerukunan 123 (FKK 124)-Korban 27 Juli 1996, Ali Husen tak berhenti menuntut penuntasan kasus kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenal dengan Kudatuli.
“Kami hanya ingin nama kami direhabilitasi, karena kami itu sampai saat ini dicap PKI, pelaku makar. Kami punya hak untuk hidup bermasyarakat,” ujar Ali saat ditemui Tempo di bilangan Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat, 26 Juli 2019. Ali merupakan salah satu dari 124 orang yang diciduk aparat ketika peristiwa itu. Ali sempat ditahan di Rutan Pondok Bambu selama sekitar empat bulan ketika itu.
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus nyaris patah arang mengawal kasus kerusuhan ini. Petrus menilai, kasus ini dipetieskan atau didiamkan oleh tim penyidik Bareskrim pada era Kapolri Bimantoro dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tanpa ada penjelasan. Penyidik kasus 27 Juli 1996 hanya berhasil menetapkan puluhan tersangka dari unsur TNI-Polri dan unsur sipil, tetapi gagal membawa kasus ini ke persidangan pengadilan pidana, sementara 124 anggota relawan pendukung Megawati yang jadi korban penyerbuan sudah diproses hukum pada saat itu dan dipidana penjara oleh aparat penegak hukum.
“Mandeknya itu sebagian di Bareskrim zaman Kapolrinya Bimantoro dan Soetanto sedangkan sebagian besar berkas tersangka lainnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tetapi tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan,” ujar Petrus kepada Tempo pada Kamis, 25 Juli 2019.
Di lain sisi, ujar Petrus, tidak ada kesungguhan dari PDIP sendiri untuk mengungkap kasus ini. Pada saat Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, menurut Petrus, tidak ada political will dari pemerintahan Megawati untuk menuntaskan kasus ini. “Padahal PDIP memiliki kekuasaan politik yang sangat memadai untuk menjawab dan memenuhi tuntutan rasa keadilan publik untuk yang tergadaikan dalam kasus 27 Juli ini selama ini,” ujar dia.
TPDI juga yakin berkas Letjen (Purn) Sutiyoso sebagai tersangka dalam peristiwa penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro Nomor 58, pada 27 Juli 1996 lalu, masih tertahan di Bareskrim Polri. Sementara di lain sisi, Megawati merangkul Sutiyoso menuju sejumlah jabatan penting ketika berkuasa.
Pengurus DPP PDI Perjuangan mendatangi kantor Komnas Hak Asasi Manusia di Jakarta, 26 Juli 2018, untuk berdialog tentang kasus 27 Juli 1996. AMSTON PROBEL
Tahun lalu, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mendatangi Komnas HAM dan menuntut penuntasan kasus tersebut. Petrus menilai hal tersebut hanya sekadar langkah politis. Musababnya, menurut Petrus, Komnas HAM sudah mengeluarkan rekomendasinya sejak awal terjadinya 27 Juli 1996. Laporan Komnas HAM dari peristiwa itu, lima orang yang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang dan meminta aparat hukum mengusut kasus tersebut. “Kedatangan Hasto dkk ke Komnas HAM itu sebagai langkah mundur dan tidak ada manfaatnya,” ujar Petrus.
Keadilan bagi 124 korban kasus Kudatuli ini, kata Petrus, semakin jauh panggang dari api. Padahal 124 orang aktivis 27 Juli yang menjadi korban itu merupakan embrio dan cikal bakal semangat perjuangan melahirkan reformasi yang menumbangkan kekuasaan orde baru. Dalam kasus ini, Petrus mengatakan TPDI dan segelintir korban 27 Juli masih sering mendiskusikan langkah apa yang akan diambil, baik langkah politik atau langkah hukum. “Yang jelas cepat atau lambat akan ada tuntutan hukum secara konkret ke pemerintah dan DPP PDIP,” ujar Petrus.
Lalu, apakah kasus ini memang menguap begitu saja?
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan, setelah pengaduan dari sejumlah petinggi PDIP tahun lalu, lembaganya sebetulnya melanjutkan pengusutan dengan menemui kembali penasehat hukum dan perwakilan korban. Komnas HAM meminta tambahan berkas-berkas administrasi dan bukti-bukti penguat untuk membantu penyelidikan kepada DPP PDIP. “Tetapi sampai saat ini belum dilengkapi,” ujar Beka kepada Tempo pada Kamis, 25 Juli 2019.