Hal itu terjadi karena sistem kantong tekanan di Gunung Tangkuban Parahu relatif dangkal. Di musim kemarau suplai air pun melemah. Sementara panas yang dihasilkan magma gunung konstan. Akibatnya, “Ini jadi lebih panas dan lebih cepat membentuk tekanan yang dangkal tadi,” kata Gede.
Letusan freatik di Tangbkuban Parahu, misalnya, tercatat terjadi pada 2013 lalu. “Letusan freatik saat itu terjadi selama seminggu dan hanya berupa kepulan-kepulan gas di Kawah Ratu,” kata Gede.
Untuk letusan kali ini, menurut Gede, sudah terpantau sejak 27 Juni 2019 lalu. “Kita juga baru sosialisasi seminggu lalu.”
Kendati tanda-tanda letusan sudah terpantau, Gede mengaku, sulit memperkirakan waktu terjadinya letusan. Tanda yang terpantau itu, diantaranya, jumlah gempa hembusan mendadak melonjak hingga ratusan dalam seharia. Tanda lain adalah peralatan pemantau deformasi tubuh gunung mencaat jarak antar bibir kawah melebar kendati dalam hitungan milimeter.
AHMAD FIKRI (Bandung)