TEMPO.CO, Jakarta - Baiq Nuril Maknun kembali membawa putranya, Rafi, menyambangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menghadiri rapat paripurna yang menyepakati pemberian pertimbangan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengabulkan amnesti Baiq Nuril.
Selepas rapat paripurna, Nuril tak henti mengucapkan terima kasih kepada pelbagai pihak yang membantu dan mendampinginya selama ini. Nuril pun menyampaikan harapan agar tak ada lagi perempuan lain yang mengalami pelecehan seksual seperti dirinya.
"Saya berharap mulai detik ini jangan sampai ada yang seperti saya. Itu menyakitkan sekali, jangan sampai ada. Saya berharap jangan sampai ada," kata Nuril di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 25 Juli 2019.
Nuril juga berharap para korban, khususnya perempuan yang mengalami pelecehan seksual untuk bersuara. Dia berpesan agar para korban berani melawan.
"Harus berani, harus berani. Jangan beri kesempatan kedua kali, kalaupun itu terjadi pada Anda sekali, jangan beri kesempatan untuk kedua kalinya. Harus Anda berani bersuara," ujarnya.
Lebih lanjut, Nuril mengungkapkan keinginannya untuk bisa segera pulang ke Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di sela isak haru, Nuril mengaku sudah amat kangen dengan keluarganya.
"Ingin cepat-cepat pulang, ingin cepat-cepat pulang," kata Nuril. Sesekali Nuril tampak membelai kepala Rafi, sang anak yang merangkul tangannya erat.
Kuasa hukum Nuril, Joko Jumadi optimistis amnesti dari Presiden akan segera terbit. Dia mengatakan, Nuril akan pulang ke Mataram dalam waktu dekat.
"Jadi insya Allah kami akan pulang kayaknya sudah rindu makan plecing di Lombok, jadi mudah-mudahan satu dua hari ini kami sudah balik ke Lombok," kata Joko.
Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang justru dipidana dengan tuduhan melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus ini bermula ketika Kepala SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Muslim, menelepon Nuril dan berbicara mesum pada 2012. Nuril merekam percakapan itu untuk membela diri sekaligus menampik isu adanya hubungan khusus antara dirinya dan Muslim.
Rekaman tersebut kemudian disimpan Baiq Nuril dan diserahkan kepada seseorang bernama Imam Mudawin. Imam memindahkan bukti rekaman tersebut dan disimpan secara digital di laptop-nya, hingga tersebar luas.
Nuril justru dituntut dengan tuduhan pencemaran nama baik. Lolos di pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung malah menghukum Nuril. MA menolak PK Nuril, honorer di SMAN 7 Mataram itu dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.