9. RUU Pertanahan tidak mengatur secara komprehensif mengenai pelanggaran hukum yang terjadi.
Koalisi masyarakat sipil mengatakan isu pencabutan hak atas tanah sekadar isu pelanggaran prosedural izin, bukan termasuk pelanggaran substansi penggunaan objek tanah atau fungsinya. Misalnya atas pelanggaran-pelanggaran penggunaan tanah yang tidak sesuai peruntukan termasuk pembukaan lahan tanpa bakar. "Tidak ada konsekuensi hukum bagi pelanggaran fungsi terhadap hak atas tanah," kata dia.
10. RUU Pertanahan akan melegalkan atau memberikan impunitas berbagai perampasan tanah dan pelanggaran RTRW maupun Kawasan Hutan
Rukka menuturkan, RUU Pertanahan berpotensi melegalkan penguasaan tanah bahkan jika HGU itu berada di dalam kawasan hutan. Dia menilai hal ini tak mengatasi persoalan bahwa selama ini telah banyak pemberian izin usaha yang masuk ke kawasan hutan.
11. RUU Pertanahan tidak ingin menyelaraskan regulasi pertanahan yang saling tumpang tindih
Sebagai mana mandat TAP MPR No. XI Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam, kata Rukka, pemerintah harusnya melakukan kajian dan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan agar tidak saling tumpang tindih. "Namun tidak ada satu pasal pun yang mengatur hal demikian," ujarnya.
12. RUU Pertanahan tidak mengatur jaminan keterbukaan informasi
Koalisi menyatakan bahwa tertutupnya data dan informasi pertanahan telah berlangsung lama. Rukka menyebut ketertutupan di sektor pertanahan telah mengakibatkan banyak persoalan tumpang tindih. Tak cuma itu, tidak terbukanya informasi pertanahan melemahkan kontrol publik atas pengaturan dan peruntukan tanah.
"Seharusnya, RUU Pertanahan memandatkan publikasi secara proaktif mengenai data atau informasi pertanahan yang perlu diketahui oleh masyarakat," kata dia.
13. RUU Pertanahan tidak memperhatikan kepentingan keagamaan
Koalisi memiliki beberapa catatan yang potensial berbenturan dengan keagamaan karena tidak diaturnya jaminan perlindungan dan kepastian hak waris dan wakaf. Pengaturan-pengaturan tentang wakaf dapat dijajaki sebagai salah satu skema alternatif dalam redistribusi tanah.
"Sayangnya, RUU Pertanahan belum mengatur hal ini meskipun salah satu tujuannya untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah," kata Rukka.