4. RUU Pertanahan belum memperhatikan perlindungan ekosistem
Rukka mengatakan RUU Pertanahan belum berbicara mengenai inventarisasi tanah berdasarkan kondisi atau fungsi tanah yang akan berpengaruh pada pengelolaannya. Misalnya, tanah bergambut yang pemanfaatannya terbatas oleh fungsi lindungnya.
"Pengelolaan tanah yang hanya memandang tanah sebagai sebidang lahan yang dapat menjadi komoditas akan mengakibatkan tidak selarasnya kebijakan pertanahan dengan kebijakan perlindungan lingkungan hidup," ucap Rukka.
5. RUU Pertanahan berpotensi menyebabkan terjadinya perampasan hak atas tanah atas nama perubahan tata ruang dan kepentingan umum
Ruka menjelaskan pengadaan tanah untuk kepentingan umum selama ini menjadi alasan yang sering digunakan untuk merampas hak atas tanah masyarakat. RUU Pertanahan ini, kata dia, juga tak memberikan kriteria jelas mengenai apa itu kepentingan umum.
Koalisi menganggap RUU ini malah memberikan peluang dalam keadaan memaksa dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah jika tanah masyarakat tidak sesuai dengan tata ruang. "Sekali lagi, keadaan memaksa ini pun tidak mempunyai kriteria yang jelas," kata dia.
6. RUU Pertanahan mengabaikan persoalan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang selama ini terjadi
Koalisi menganggap ada beberapa permasalahan terkait pengaturan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam RUU Pertanahan, antara lain inventarisasi hak ulayat yang bersifat pasif,yakni hanya masyarakat hukum adat yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan tanah adatnya, sementara secara konstitusi harusnya negara yang proaktif mendata dan memberikan pengakuan tersebut.
Kemudian, RUU Pertanahan mengatur bahwa pengakuan masyarakat hukum adat dilakukan oleh menteri berdasarkan rekomendasi pemerintah daerah. Ini dinilai akan lebih menyulitkan dibandingkan praktik sekarang yang mendelegasikan pengakuan masyarakat hukum adat kepada pemerintah daerah. Ketiga, ketentuan mengenai pemberian hak lain di atas wilayah adat serta status tanah ketika hak tersebut berakhir.
7. RUU Pertanahan belum mengatur secara komprehensif mengenai penyelesaian konflik agraria
Menurut Rukka, RUU Pertanahan masih memakai pendekatan legal formal melalui pengadilan untuk konflik agraria yang terjadi. Padahal penyelesaian konflik agraria butuh mekanisme dari hulu ke hilir dari mulai inventarisasi penguasaan tanah secara de facto dan de jure, siapa menguasai berapa luas dan di mana.
Hal tersebut dianggap penting guna mengetahui kondisi penguasaan tanah Indonesia yang sesungguhnya. Selain itu, pemerintah akan terbantu dalam proses identifikasi subyek obyek priorotas redistribusi tanah. "Dengan menggunakan pengadilan beserta hukum acara, pembuktian akan bias dengan kebenaran lapangan," kata Rukka.
8. RUU ini belum menjawab persoalan dualisme kewenangan pengelolaan administrasi pertanahan
RUU ini mengatur mengenai kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam mengatur urusan pertanahan lintas sektoral. Namun Rukka berpandangan perlu ada klarifikasi bagaimana hubungan kewenangan Kementerian ATR/BPN dengan kementerian sektoral lainnya.
Kata dia, single land administration yang didengungkan dalam RUU Pertanahan perlu diletakkan tidak sebagai ansich pengadministrasian, namun perbaikan tata kelola tanah nasional. "Pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana dampak dari mereduksi kewenangan suatu kementerian/lembaga di masa yang akan datang," ucapnya.