TEMPO.CO, Jakarta - Tim advokasi Novel Baswedan menyindir hasil kerja tim gabungan pencari fakta (TGPF) bentukan Polri dalam kasus penyiraman air keras. Menurut tim advokasi, kerja tim terlalu canggih hingga bisa menyimpulkan motif penyerangan tanpa mengungkap pelakunya.
"Pelaku lapangan belum tertangkap, tapi motifnya sudah dapat. Canggih benar tim satgas bentukan Polri," kata anggota tim advokasi, Alghiffari Aqsa, di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu, 17 Juli 2019.
Sebelumnya, tim pencari fakta mengungkapkan balas dendam sebagai motif penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan pada 11 April 2017. Menurut tim gabungan, balas dendam itu dipicu penggunaan kewenangan secara berlebihan.
Anggota tim Nur Kholis, mengatakan penggunaan wewenang yang berlebihan membuat Novel menjadi musuh sejumlah pihak yang berperkara di KPK. Tim meyakini motif balas dendam ini terkait dengan kasus korupsi yang tengah ditangani oleh penyidik senior KPK itu. “Ada yang merasa dendam dan berencana melukai penyidik KPK tersebut,” kata Nur Kholis.
Tim pencari fakta juga menyatakan ada tiga orang yang menjadi terduga pelaku penyerangan Novel. Menurut Nur, ada satu orang tidak dikenal yang mendatangi rumah Novel pada 5 April. Lalu, ada dua orang tak dikenal yang datang ke sekitar rumah Novel. Tim merekomendasikan kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian membentuk tim teknis yang bertugas mengejar tiga sosok itu.
Menurut Alghiffari, kesimpulan tim kontradiktif. Di satu sisi, kata dia, tim menyebutkan sudah mengumpulkan 74 bukti mengamati 38 rekaman CCTV hingga melibatkan polisi Australia. Tapi, tak ada satupun bukti itu yang membuat tim menetapkan tersangka.
Ia mengatakan tim justru menyimpulkan motif terlebih dulu sebelum menangkap pelaku. Menurut dia, hal ini aneh. Karena seharusnya tim menangkap dulu pelaku, baru kemudian mengungkap motif. "Kesimpulan tim seperti melompat," kata mantan Direktur LBH Jakarta ini.
Selain itu, menurut Alghiffari tim justru terkesan menyalahkan Novel Baswedan sebagai korban dengan mengatakan Novel telah menggunakan wewenang secara berlebihan. Ia menganggap pernyataan itu menyerang integritas Novel.