TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat sosial politik UNJ Ubedilah Badrun, menilai pidato Presiden Terpilih Joko Widodo atau Jokowi secara umum cenderung normatif, meski tetap menghibur dan wajar sebagai Presiden. Namun dia menilai pidato Jokowi kurang visioner secara substansial.
Menurut Ubedilah yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), ada dua hal yang justru penting dan ditunggu-tunggu oleh publik. Pertama, jika judul besar pidato Jokowi itu adalah Visi Indonesia, secara umum tidak menggambarkan sesuatu yang kuat tentang visi. Sebab menurutnya, visi bicara tentang masa depan Indonesia selama masa kepemimpinan lima tahun ke depan.
"Terutama misalnya Jokowi tidak bicara Visi Ekonomi lima tahun ke depan itu ekonomi Indonesia akan seperti apa? Hanya terucap kita akan bekerja keras, bangun infrastruktur dan membuka investasi sebesar besarnya. Itu bukan visi tapi itu cara mencapai visi," kata Ubedilah melalui keterangan tertulis pada Senin, 15 Juli 2019.
Menurutnya, masyarakat Indonesia maupun dunia internasional berharap kejelasan visi ekonomi periode kedua Jokowi bisa menjelaskan posisi ekonomi Indonesia lima tahun ke depan di tengah dinamika perang dagang Amerika dan Cina. Khususnya wajah ekonomi Indonesia di tengah surplus demografi dan juga target angka pertumbuhan ekonomi. "Soal ini masih abstrak. Tidak terlihat dengan jelas," katanya.
Kedua, Ubedilah menilai Jokowi sama sekali tidak bicara visi kemanusiaan Indonesia. Padahal problem hak asasi manusia di Indonesia saat ini sedang menjadi sorotan dunia internasional. Selama lima tahun periode pertama, Ubedilah mengatakan nyaris tidak ada satupun kasus hak asasi manusia yang tertangani dengan baik.
"Alih alih menangani kasus HAM yang lama, kasus HAM yang baru justru hadir di periode pertamanya yang nanti akan menjadi beban pemerintahannya selama lima tahun ke depan. Seperti peristiwa penangkapan aktivis dan penembakan dengan peluru tajam pada peristiwa 22-23 Mei 2019 di Jakarta," katanya.
Visi kemanusiaan ini dinilai Ubedilah seharusnya dibingkai dalam konteks visi demokrasi. Tapi visi demokrasi juga tak dinarasikan Jokowi. Jokowi hanya mengatakan demokrasi keadaban dan menghentikan caci maki. Namun bentuk, pola dan sistemnya tidak dinarasikan sebagai visi demokrasi.
"Jika visi demokrasi dan hak asasi manusia Indonesia selama lima tahun ke depan tidak jelas, saya kira ini akan menjadi salah satu beban berat pemerintahan Jokowi selama lima tahun, selain soal ekonomi yang tak tentu arah," ucapnya.