TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk menunda Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Koalisi melihat RUU Pertanahan belum layak disahkan sebab masih banyak pasal yang tidak memihak kepada rakyat.
"Pasal per pasal bertentangan dengan UU Agraria. Banyak yang kontradiktif," ujar Sekretarias Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada Ahad, 14 Juli 2019. Dewi sebenarnya mengapresiasi kehadiran UU Pertanahan. Sebab, posisi dan kedudukan UU ini terhadap UU Pokok Agraria bersifat melengkapi serta menyempurnakan hal-hal penting yang belum diatur.
Namun, Dewi juga menyayangkan proses perumusan RUU Pertanahan ini tidak terbuka. Koalisi pun meminta Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termasuk fraksi politik, partai politik, dan pemerintah agar melibatkan semua pihak secara aktif dalam proses perumusannya. "Karena selama ini masyarakat yang menjadi korban konflik agraria dan perampasan tanah," ucap Dewi.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menargetkan RUU Pertanahan rampung pada September 2019 mendatang. Saat ini, prosesnya masih dibahas pemerintah dan DPR. Dalam RUU ini, salah satu poin yang dibahas adalah jangka waktu dan luas yang diberikan untuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perusahaan demi menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, sekaligus juga bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
"Poin ini sarat akan kepentingan investasi dan bisnis, monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar," ucap Dewi.
Lebih detail, terdapat delapan poin utama yang dibahas dalam RUU Pertahanan. Rinciannya, pengaturan atas hak atas tanah, pendaftaran tanah menuju single land administration system, dan modernisasi pengelolaan.
Poin lainnya terkait penyediaan tanah untuk pembangunan, percepatan penyelesaian sengketa, kebijakan fiskal pertanahan, kewenangan pengelolaan kawasan oleh kementerian/lembaga (K/L), dan penghapusan hak-hak atas tanah yang bersifat kolonial.