TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai Mahkamah Agung gagal mencermati sejumlah fakta persidangan dalam kasus Baiq Nuril.
Baca: Kasus Baiq Nuril, Pemerintah Pertimbangkan Tinjau Ulang UU ITE
"Tak hanya gagal mencermati fakta persidangan, MA juga gagal memahami konstruksi Pasal 27 (1) UU ITE," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, melalui siaran pers, pada Ahad, 14 Juli 2019.
Anggara menjelaskan, dalam konstruksi pasal tersebut, yang harus menjadi perhatian adalah bahwa tindakan yang dilarang adalah melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik, bukan melakukan perekaman.
"Sehingga, fokus dalam pemeriksaan perkara ini oleh MA di tingkat PK seharusnya adalah apakah benar Ibu Nuril melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan?" kata Anggara.
MA, kata Anggara, melakukan kesalahan dalam menganalisis alat bukti yang dihadirkan di persidangan tingkat pertama. Sebab, dalam pertimbangannya, MA mengatakan bahwa Baiq Nuril yang melakukan transfer rekaman dari telepon genggam ke laptop milik HIM.Padahal, secara jelas di dalam pengadilan tingkat pertama, para saksi menyatakan bahwa yang melakukan transmisi adalah HIM, bukan Baiq Nuril. Bahkan, di dalam putusan kasasi, MA telah menyatakan bahwa HIM lah yang telah meneruskan, mengirimkan, atau mentransfer isi rekaman pembicaraan.
"Jelas, hal ini merupakan suatu kekeliruan yang dilakukan oleh MA dalam menimbang fakta di tingkat PK, karena MA telah salah dalam mengidentifikasi siapa sesungguhnya pelaku tindak pidana sebagaimana didakwa oleh penuntut umum," ujar Anggara.
Selain itu, MA menyebut bahwa bukti elektronik yang diajukan Baiq Nuril di persidangan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum, karena isinya telah berubah. Anggara menuturkan, sejak awal persidangan, bukti tersebut telah diperlihatkan dan diperdengarkan kepada Baiq Nuril dan tidak ada keberatan.
Anggara melihat, tidak seharusnya keberatan tersebut diajukan apabila Nuril sudah menyatakan kebenaran isi dari rekaman. ICJR menilai, bahwa dalam pertimbangan ini, MA telah gagal di dalam memahami prosedur perlakuan alat bukti elektronik.
Apalagi, MA juga memiliki kewajiban untuk terlebih dahulu menyatakan apakah alat bukti tersebut sah atau tidak. Dalam hal alat bukti tersebut sah, maka dapat digunakan untuk membuktikan perkara dengan kemudian melihat substansi dari alat bukti tersebut.
"Sayangnya, di dalam pemeriksaan tingkat kasasi, majelis hakim sama sekali tidak menyinggung masalah alat bukti elektronik ini. Padahal, masalah pembuktian di dalam perkara yang diadili berdasarkan ketentuan di dalam UU ITE adalah hal yang paling penting untuk kemudian diperhatikan," kata Anggara.
Baca: Pemerintah Keluarkan Rekomendasi Amnesti untuk Baiq Nuril
Alhasil, ICJR menilai pertimbangan MA yang menyatakan bahwa karena tidak ada keberatan dari Ibu Nuril sejak awal diperdengarkannya rekaman pembicaraan di pengadilan, tidaklah relevan sama sekali di dalam perkara ini dan telah melenceng dari permasalahan hukum yang sebenarnya harus dijawab di dalam pemeriksaan PK perkara ini.