TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Andreas Hugo Pareira mengakui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki titik lemah.
Baca: Kisah Baiq Nuril yang Terbang Mengejar Harapan Terakhir ke Jokowi
"Ya memang banyak titik lemah yang ada di UU ITE dan kami menyadari itu. Memang kalau kita lihat kasus Baiq Nuril yang terakhir ya itu menunjukkan bahwa ada celah yang ada pada UU ITE," kata Politikus PDIP ini di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 8 Juli 2019.
Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Baiq Nuril, terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan ditolaknya permohonan PK tersebut maka putusan kasasi MA berupa hukuman enam bulan penjara atas Baiq Nuril dinyatakan tetap berlaku.
Menurut Andreas, kasus Baiq Nuril sudah merupakan perkara kesekian terkait UU ITE. Dia mencontohkan kasus yang sebelumnya menjerat Prita Mulyasari. Prita juga menjadi terpidana pelanggaran UU ITE lantaran ceritanya tentang layanan di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang yang dianggap mencemarkan nama baik.
Andreas mengatakan Komisi I sebenarnya menyadari UU ITE perlu direvisi. Ke depannya, kata dia, UU ITE diharapkan bisa lebih fleksibel agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan.
"Kami menyadari juga bahwa perkembangan teknologi itu seringkali berjalan lebih cepat dari aturan yang kami buat," ucapnya.
Selama ini, penerapan UU ITE kerap dianggap mengekang kebebasan berekspresi. Dalam kasus Baiq Nuril, hukuman yang ditimpakan juga dianggap menafikan upaya Nuril melawan kekerasan seksual yang dialami.
Baca: Baiq Nuril - Rieke Diah Pitaloka Temui Menkumham Bahas Amnesti
"Ke depan mungkin di dalam revisi UU ITE perlu menyediakan aspek fleksibilitas dari pelaporan itu sehingga dia bisa cepat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Andreas mengimbuhkan, Komisi I menghormati putusan majelis hakim MA yang menolak permohonan PK Baiq Nuril. Dia pun mendukung guru honorer SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat itu mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.
Baiq Nuril dinyatakan bersalah karena merekam pembicaraan via telepon seluler antara Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim dengan Baiq Nuril, ketika Muslim menelepon Nuril sekitar satu tahun yang lalu. Pembicaraan via telepon tersebut diduga mengandung unsur pelecehan seksual terhadap Baiq.
Rekaman tersebut kemudian disimpan Baiq Nuril dan diserahkan kepada seseorang bernama Imam Mudawin. Imam memindahkan bukti rekaman tersebut dan disimpan secara digital di laptop-nya, hingga tersebar luas.
Mahkamah Agung melalui Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, menjatuhkan vonis hukuman kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam putusannya, majelis hakim menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baca: Komnas Perempuan Desak Jokowi Segera Beri Amnesti ke Baiq Nuril
Baiq lalu mengajukan PK namun ditolak. Perkara ini diputus oleh majelis hakim PK yang diketuai Suhadi, dengan hakim anggota Margono dan Desnayeti. Kasus yang menjeratBaiqNuril ini menguatkan desakan dari pelbagai kelompok masyarakat sipil agar pemerintah dan DPR merevisi UU ITE.