TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J. Mahesa mempertanyakan kelanjutan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan tiga unit Quay Container Crane yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino (RJ Lino). Penyidikan kasus Pelindo diketahui mandeg sejak RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka pada 2015.
Baca juga: Ada Orang Kuat di Belakang RJ Lino, Siapa?
"Jadi bagaimana kasus Lino yang belum selesai ini?" ujar Desmond dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR hari ini di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 1 Juli 2019.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menjanjikan kasus ini akan selesai dalam sebulan terakhir ini. "Dalam sebulan terakhir ini selesai. Setelah itu perkaranya bisa dilimpahkan ke pengadilan," ujar Agus di lokasi yang sama.
Agus menjelaskan, kasus yang menjerat Lino sebetulnya hanya soal kerugian negara. Namun, dalam proses penyidikan sempat terhambat karena poin kerjasama internasional yang masih perlu dilengkapi di kasus ini. Saat ini, ujar Agus, KPK sudah menggunakan ahli dan tim ahli BPK untuk menghitung kerugian negara.
Adapun hari ini, KPK kembali memeriksa saksi-saksi terkait kasus kasus pengadaan tiga unit Quay Container Crane yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino. Ada dua saksi yang akan diperiksa, yakni ahli keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pesawat angkat dan angkut perusahaan BUMN, PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) Suismono, dan pegawai perusahaan yang sama, Akhmad Muliaddin.
KPK memastikan kasus ini masih terus berjalan dengan diperiksanya sejumlah saksi pada hari ini. Sudah hampir tiga tahun lebih KPK mengusut dugaan korupsi yang dilakukan RJ Lino. Mantan Dirut Pelindo II itu ditetapkan tersangka oleh KPK pada Desember 2015 untuk dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC.
Baca juga: RJ Lino: Saya Tidak Malu Ketemu Anda, I Enjoy My Life
Tiga unit QCC itu dibeli dari PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM), perusahaan pengadaan alat berat asal Tiongkok. Dari temuan awal, pengadaan alat berat itu diduga merugikan negara sebesar US$3,6 juta atau sekitar Rp47 miliar.