TEMPO.CO, Palembang - Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto meminta Kesatuan Pengelolaan Hutan aktif menjadi pendamping masyarakat setelah mereka mendapatkan izin perhutanan sosial. “Karena KPH menjadi ujung tombak pengelolaan hutan di tingkat tapak,” kata Bambang di Palembang, 28 Juni 2019.
Bambang berbicara dalam acara diskusi "Strategi Implementasi Pasca Izin Perhutanan Sosial” di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dihela Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB Sumatera Selatan, Kelola Sendang, dan World Resources Institute Indonesia. “Peran KPH sangat krusial untuk mencapai percepatan untuk mencapai target luas perhutanan sosial,” kata Bambang.
Saran Bambang muncul karena keluhan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto tentang lambatnya realisasi perhutanan sosial dan ketiadaan pendamping bagi masyarakat setelah mereka mendapatkan izin. “Padahal ini program di Sumatera Selatan menurunkan angka kemiskinan,” katanya.
Perhutanan sosial merupakan sebuah konsep yang menjadi andalan kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo menurunkan angka kemiskinan sejak 2015. Masyarakat, melalui kelompok petani, diberikan akses mengelola kawasan hutan selama 35 tahun. Jokowi punya target memberikan akses 12,7 juta hektare lahan hutan kepada masyarakat. Menurut Bambang, luas perhutanan sosial tahun 2019 sudah bertambah menjadi 13,8 juta hektare. Sampai 1 Juni 2019, izin perhutanan sosial mencapai 3,09 juga hektare untuk 679.467 ribu keluarga.
Pemberian izin akses masyarakat sekitar hutan melalui surat keputusan ini dilakukan melalui lima skema: hutan adat, hutan desa, kemitraan kehutanan (masyarakat dengan pemegang izin kawasan hutan), hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan.
Bambang mengakui problem utama kebijakan perhutanan sosial adalah langkanya pendamping bagi masyarakat mencapai tujuan perhutanan sosial, yakni kesejahteraan secara ekonomi melalui usaha hasil hutan, meredam konflik sosial akibat sengketa lahan di kawasan hutan negara, dan tujuan ekologi yakni tercapainya tutupan hutan di wilayah izin perhutanan sosial. “Saya berharap KPH menjadi desainer pendampingan sampai membantu petani menemukan pasar produk mereka,” kata dia.
Selama ini para pendamping datang dari lembaga-lembaga nonpemerintah yang mendapat dukungan pembiayaan dari lembaga donor menjadi pendamping masyarakat hingga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari produk hasil hutan mereka. Padahal jumlah KPH kini mencapai 309 unit di 28 provinsi.
Kepada para Kepala KPH, peneliti, dan rimbawan Sumatera Selatan yang hadir dalam diskusi, Bambang bahkan lebih jauh mendorong KPH berperan aktif dengan menjadi verifikator pengajuan izin perhutanan sosial. Menurut dia, lima balai KLHK di lima lokasi tak cukup personel memverifikasi dari banyaknya izin perhutanan sosial yang masuk ke KLHK.
Ia menganjurkan KPH bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan gubernur membentuk tim percepatan verifikasi agar izin-izin yang masuk segera diperiksa dari segi clear and clean lahan yang diajukan. Selama ini, tersendatnya realisasi pemberian izin terhambat karena verifikasi yang lama akibat personel tak seimbang dengan pengajuan.
Bambang mencontohkan Sumatera Barat yang dianggap berhasil mengembangkan perhutanan sosial karena ada tujuh lembaga yang menopang program ini. Badan Pelaksana DAS dan Hutan Lindung, misalnya, menyuplai bibit pohon kepada petani, lembaga lain mencarikan pasar, dan KPH serta NGO menjadi pendamping masyarakat.
Dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi punya saran lain yang lebih jitu: memberdayakan mahasiswa Fakultas Kehutanan. Menurut dia, kini ada 68 perguruan tinggi yang memiliki jurusan kehutanan yang berpotensi menjadi pendamping dalam program ini. “Apalagi kami sedang memperbarui kurikulum pengajaran agar sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.
Generasi milenial, kata Rinekso, tak lagi cocok dengan gaya kurikulum pedagogik berupa pengajaran di kelas. IPB, kata dia, sedang merancang kurikulum yang akan memperbanyak jumlah waktu praktik di lapangan. Mereka bisa diberdayakan menjadi pendamping perhutanan sosial. “Kami bisa mengisikan 1-2 SKS tentang khusus materi perhutanan sosial,” kata dia.
Realisasi perhutanan sosial di Sumatera Selatan seluas 105.367 hektare lewat 146 surat keputusan untuk 22.651 kepala keluarga dari alokasi total 361.897 hektare. Angka kemiskinan Sumatera Selatan sebesar 12,82 persen pada September 2018, lebih besar dari angka nasional sebesar 9,66 persen. “Saya percaya perhutanan sosial menjadi solusi menurunkan kemiskinan,” kata Bambang.