TEMPO.CO, Jakarta - Tim kuasa hukum Prabowo Subianto - Sandiaga Uno menyampaikan harapannya menjelang sidang putusan sengketa hasil pemilihan presiden 2019 yang akan disampaikan Mahkamah Konstitusi pada Kamis mendatang, 27 Juni 2019. Lewat keterangan tertulisnya, tim hukum pasangan calon 02 ini bicara soal kemuliaan dan legitimasi Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Andre Rosiade: Prabowo Menang di MK, Kami Ajak Kubu Sebelah
"Kami, kuasa hukum Prabowo-Sandi dan rakyat Indonesia berharap Mahkamah Konstitusi mempertegas kemuliaannya melalui putusannya tanggal 27 Juni 2019," kata anggota tim kuasa hukum Luthfi Yazid, Selasa, 25 Juni 2019.
Luthfi menjelaskan, yang mereka maksud ialah putusan yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sesuai kesepakatan bangsa dan mandat Mahkamah Konstitusi yang terikat pada Undang-undang Dasar 1945. Menurut dia, MK harus menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh.
Luthfi pun memprediksi MK akan kehilangan legitimasi dan kepercayaan publik jika hal itu tak dilakukan. "Jika tidak maka keputusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tidak ada public trust di dalamnya," kata Luthfi. Dia berujar selain tak ada kepercayaan publik juga tak akan ada dukungan pada pemerintahan yang akan berjalan.
Menurut Lutfhi, jika ada satu saja unsur yang menjadi landasan atau rujukan MK mengandung unsur kebohongan dan kesalahan maka keputusan Mahkamah menjadi invalid. Salah satu yang dicontohkan Luthfi ialah kesaksian ahli yang dihadirkan tim kuasa hukum Joko Widodo - Ma'ruf Amin, Eddy Hiariej, yang menyebut Le Duc Thuo sebagai penjahat kemanusiaan. Padahal Le Duc Thuo adalah mantan Perdana Menteri Vietnam yang mendapatkan Nobel Perdamaian tetapi menolaknya.
Berikutnya, kata Lutfhi, kesaksian saksi ahli yang dihadirkan pihaknya, Jaswar Koto juga tak dideligitimasi oleh pihak Komisi Pemilihan Umum selaku termohon. Jaswar sebelumnya menjelaskan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta suara di pilpres 2019.
Luthfi mengatakan bila mekanisme pembuktian keterangan Jaswar ini dilakukan secara manual, yaitu mengadu C1 dengan C1 maka waktu yang dibutuhkan akan sangat lama. Kata dia, semisal pengecekan satu C1 dengan C1 membutuhkan waktu 1 menit, maka pengecekan tersebut akan memakan waktu sekitar 365 tahun dengan asumsi pemilihnya sekitar 192 juta pemilih.
Kemudian kalau pengecekannya didasarkan per tempat pemungutan suara (TPS) dengan asumsi jumlah TPS 813.330 dan waktu pengecekan setiap TPS memakan waktu 30 menit, maka waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan secara keseluruhan
sekitar 46 tahun lamanya.
Luthfi juga mengungkit keterangan saksi Idham Amiruddin yang mengatakan ada 22 juta daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah dalam bentuk Nomor Induk Kependudukan rekayasa, pemilih di bawah umur, dan pemilih ganda. Dia mengklaim ketidakjelasan DPT ini cukup menjadi alasan bagi majelis hakim MK untuk membatalkan pelaksanaan pilpres 2019.
Kesaksian Idham Amiruddin ini sebelumnya dipertanyakan majelis hakim dan KPU. Semisal, kuasa hukum Prabowo - Sandi tak bisa menghadirkan bukti P155 atas keterangan itu. Saat ditanya ihwal di mana terbanyak ditemukan dugaan kecurangan, dia justru menyebut daerah-daerah di mana Prabowo-Sandi justru unggul.
Selanjutnya, Luthfi menyoal tak adanya jaminan keamanan dan keandalan di Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) KPU. Luthfi menilai KPU selalu ngeles jika ditanya ihwal upaya perbaikan Situng. Padahal menurut dia, UU ITE Pasal 15 ayat 1 menegaskan bahwa penyelenggara sistem informasi dan IT wajib memenuhi standar keamanan dan keandalan.
Luthfi selanjutnya juga menyampaikan bahwa keterangan saksi dari tim hukum Prabowo, Hairul Anas Suaidi tidak dibantah oleh saksi kubu Jokowi, Anas Nashikin. Diantaranya tentang power point yang berjudul “Kecurangan adalah Bagian Dari Demokrasi” dan isi power point lainnya.
Baca juga: Tetap di Kubu Prabowo, PKS: Demokrasi Perlu Kekuatan Penyeimbang
Kedua, kata Luthfi, bahwa dalam acara pelatihan saksi tersebut dihadiri Presiden inkumben Joko Widodo, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto, komisioner KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Luthfi mengatakan KPU juga gagal menghadirkan daftar hadir atau dokumen C7 di persidangan. Menurut dia ini adalah hal fatal lantaran tak jelas siapa saja warga negara yang menggunakan hak pilihnya saat pencoblosan.
"Terbukti juga sebagai fakta persidangan Termohon/KPU membuat penetapan DPT tertanggal 21 Mei 2019, artinya penetapan KPU tersebut dibuat setelah Pemilu tanggal 17 April 2019. Tentu, ini sesuatu yang sangat aneh," ujar Luthfi.