TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty Internasional Indonesia mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo mengenai penyiksaan dan perlakuan buruk oleh polisi sekitar rusuh 22 Mei 2019. Khususnya dugaan penyiksaan dan perlakuan buruk di Kampung Bali dan daerah sekitar Jakarta Pusat yang tengah diselidiki.
Dalam surat itu, Amnesty Internasional Indonesia pun memberikan enam imbauan untuk Jokowi. "Kami mendorong Bapak Presiden memprioritaskan penanganan masalah ini dan mereformasi kepolisian dan pemolisian," kata peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat di kantornya, Jakarta Pusat, pada Selasa, 25 Juni 2019.
Baca juga: Tanpa LPSK, Komnas HAM Janji Lindungi Saksi Korban Rusuh 22 Mei
Pertama, melakukan penyelidikan yang segera, independen, tidak berpihak, dan efektif terhadap dugaan pelanggaran HAM serius oleh polisi di Kampung Bali dan wilayah lain di Jakarta. Termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk. Temuan dari penyelidikan itu harus dibuka ke publik.
Amnesty meminta mereka yang diduga terlibat, termasuk yang bertanggung jawab, dituntut dengan prosedur sesuai dengan standar keadilan internasional.
Jokowi diminta memastikan tidak ada yang ditahan sewenang-wenang dan para tahanan diberikan akses bertemu keluarga, kuasa hukum, pengadilan, dan perawan kesehatan. Catatan kesehatan yang membuktikan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap orang-orang yang ditahan sehubungan dengan rusuh 22 Mei harus tersedia untuk korban atau para keluarga korban dan kuasa hukummya.
Baca juga: Diminta Lindungi Keluarga Korban Rusuh 22 Mei, Ini Jawaban LPSK
Amnesty Internasional Indonesia mendesak Jokowi agar bisa memastikan semua personel kepolisian mengenal dan terlatih dengan baik menerapkan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelanggaran Tugas Kepolisian.
"Kami mendesak pemerintah meninjau ulang sistem akuntabilitas yang ada untuk menangani dugaan pelanggaran HAM oleh polisi," ujar Papang. Selain itu juga meninjau ulang dan menhgundangkan segera KUHP dan KUHAP baru yang sesuai standar dan hukum HAM Internasional. “Perlu ada ratifikasi protokol tambahan kovensi anti penyiksaan.”