TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai koalisi Jokowi - Ma'ruf tak perlu lagi merangkul partai politik lain untuk bergabung bersama koalisi. Komposisi koalisi saat ini, dinilai cukup mumpuni. "Enggak perlu rangkul (parpol lain lagi), untuk menciptakan stabilitas demokrasi yang sehat," kata Adi saat dihubungi Tempo, Jumat, 20 Juni 2019.
Menurut Adi pemerintahan tanpa oposisi merupakan hal yang buruk. Hal ini membuka lebar pintu pemerintahan yang tanpa kritik dan melanggengkan kebijakan politik satu pihak. Ini akan berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Tim Jokowi Bantah Kubu Prabowo Soal Kliennya Larang Beritakan 212
"Demokrasi sehat itu kalau ada perimbangan yang dilakukan oleh kelompok oposisi.” Besar atau kecil, oposisi harus dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan logikanya sendiri. Pemerintah seakan ingin menerapkan bangunan politik tanpa lawan (zero enemy) jika terus merangkul oposan.
Hal ini sebenarnya biasa dilakukan untuk mengambil sebanyak mungkin dukungan. Sikap serupa pernah dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono ketika pertama kali menjabat sebagai Presiden Indonesia pada 2004 dan diupayakan Jokowi di 2014.
Saat itu baik SBY maupun Jokowi hanya menang Pilpres, namun kalah dukungan di parlemen. Kini Jokowi menang, parlemen juga mayoritas. Tak perlu merangkul partai-partai seperti Demokrat, PAN, dan Gerindra untuk jadi bagian dari Koalisi. “Parlemen sudah ‘aman’," kata Adi.
Baca juga: Hakim MK Minta Perbaikan Permohonan Kubu Prabowo Tak Dipersoalkan
Pemilihan Umum 2019 selesai, sejumlah partai di koalisi oposisi menunjukkan indikasi terpecah. Petinggi Partai Demokrat kerap menemui Jokowi langsung di Istana Negara. PAN pun merapat.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut ada kemungkinan Gerindra bergabung ke koalisi pemerintah. Belakangan, Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandiaga, Andre Rosiade menyebut adanya sejumlah tawaran posisi politik untuk Partai Gerindra dari kubu Jokowi - Ma'ruf Amin.