TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, menjelaskan 9 permasalahan mendasar terkait Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB sistem zonasi yang kini tengah dilakukan oleh pemerintah menjelang tahun ajaran baru 2019.
Baca juga: Menjelang PPDB Online Bekasi, Telkom Siapkan Jaringan 56 SMP
Permasalahan yang pertama dalam sistem PPDB ini adalah terkait penyebaran sekolah negeri yang tidak merata di setiap kecamatan dan kelurahan. "Sementara banyak daerah yang pembagian zonasinya didasarkan pada wilayah administrasi kecamatan," kata Retno di kantor KPAI, Jakarta, pada Rabu, 19 Juni 2019.
Kedua, karena sistem zonasi tak berjalan baik, ada calon siswa yang tidak terakomodasi karena tidak bisa mendaftar ke sekolah manapun. Sementara di sisi lain, ada sekolah yang kekurangan siswa lantaran letaknya jauh dari pemukiman penduduk.
Ketiga, orangtua mengantre hingga menginap di sekolah. Padahal, kebijakan PPDB yang berbasis zonasi dan sistem online menyatakan bahwa siswa yang dekat dengan sekolah pasti diterima. "Jadi, meski mendapatkan nomor antrian 1, akan tetapi bagi yang domisilinya jauh dari sekolah, peluangnya sangat kecil untuk diterima," kata Retno.
Keempat, minimnya sosialisasi sistem PPDB ke calon dan orang tua peserta didik sehingga menimbulkan kebingungan. "Sosialisasi seharusnya dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif," lanjutnya.
Kelima, masalah kesiapan infrastruktur dan pendaftaran secara online yang belum matang. Keenam, tak ada transparansi kuota per zonasi, kuota rombongan belajar dan daya tampung dari pemerintah. "Sesuai Permendikbud 51 tahun 2018, telah ditentukan maksimal jumlah Rombel per kelas untuk SD adalah 28 siswa, SMP 32 siswa, dan SMA atau SMK 36 siswa.
Baca juga: PPDB Bikin Resah dan Jadi Polemik, KPAI Buka Posko Pengaduan
Ketujuh, penentuan jarak atau ruang lingkup PPDB sistem zonasi yang kurang melibatkan kelurahan. Kedelapan, soal petunjuk teknis yang kurang jelas dan kurang dipahami masyarakat. "Bahkan terkadang petugas penerima pendaftaran juga kurang paham," katanya.
Terakhir, karena jumlah sekolah negeri tidak merata di tiap kecamatan, maka dibuatlah kebijakan dua shift pagi dan siang.
"Dampaknya, banyak sekolah swasta di wilayah tersebut kekurangan peserta didik. Dikhawatirkan kalau tidak dipikirkan maka sekolah bisa tutup," katanya.