TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menilai Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 terkait pemberian remisi rawan dikorupsi. Kerawanan itu muncul karena tidak jelasnya indikator pemberian pemotongan masa penjara kepada napi. "Setelah kami review itu memiliki risiko transaksional," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya, Senin, 17 Juni 2019.
Baca: Remisi Abu Bakar Ba'asyir Lebih Sedikit dari Gayus, Ini Alasannya
Febri menuturkan dalam aturan tersebut pihak lapas masih dilibatkan dalam menilai napi yang layak mendapatkan remisi. Selain itu, indikator dalam pemberian remisi juga tidak objektif. Maka itu, KPK meminta Kemenkumham segera merevisi aturan tersebut. "Pemberian remisi harus dilakukan berdasarkan sistem, bukan subjektifitas pejabat," kata Febri.
Dia mengatakan kajian terhadap beleid itu dilakukan KPK setelah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen. Wahid dihukum 8 tahun penjara karena menerima suap supaya napi bisa pelesiran ke luar lapas.
Pascaoperasi, KPK dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham menandatangani tiga kesepakatan perbaikan pengelolaan lapas. Pertama, soal pemindahan napi koruptor kelas kakap ke Lapas Nusakambangan, evaluasi pedoman teknis sistem permasyarakatan, dan revisi aturan soal remisi. Ketiganya harusnya sudah dilaksanakan Kemenkumham pada Juni ini.
Baca: Pemerintah Beri Remisi Idul Fitri kepada 112.523 Narapidana
KPK berharap Ditjen Pemasyarakatan secara konsisten melakukan perjanjian tersebut. "Hanya dengan penerapan dan pelaksanaan rencana aksi secara konsisten itulah perbaikan Lapas bisa kita lakukan," kata Febri.