TEMPO.CO, Suriah - Lebih dari sepuluh warga negara Indonesia langsung meriung di tenda pengungsian bernomor 39378 di Al-Hawl begitu Tempo memperkenalkan diri berasal dari Tanah Air, pada Kamis, 23 Mei lalu. Mereka adalah perempuan dan anak-anak yang merupakan keluarga dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Baca: Kisah Pelarian WNI Eks Pendukung ISIS dari Suriah
Suami serta ayah dari para perempuan dan anak-anak itu adalah kombatan dari kelompok teroris tersebut. Semuanya berada di dalam bui. “Ayah saya dibawa ke penjara oleh tentara,” ujar Windy Aulia Alwi, 17 tahun. Tentara yang dimaksud adalah Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang merupakan sayap militer Otoritas Kurdistan Suriah.
Menurut Windy, ia bersama ibunya, Rahmawati, dibawa pasukan SDF dari Desa Baghouz Al-Fawqani di Dayr Az-Zawr ke kamp pengungsian sekitar awal Maret lalu. Desa Baghouz yang merupakan benteng terakhir ISIS digempur oleh SDF, gabungan prajurit Kurdi dan Arab Suriah. Pasukan ISIS berhasil dikalahkan. SDF lalu membawa wanita dan anak-anak ke lokasi pengungsian, sedangkan ribuan pria dijebloskan ke penjara, termasuk ayah Windy, Muhamad Ali, 45 tahun.
Windy dan keluarganya masuk ke Suriah pada 2016. Ketika itu, ia masih berumur 13 tahun. “Abi (ayah) bilang ini ada negara Islam, aku pikir jalan-jalan dan happy-happy saja,” ucap Windy. Mereka terbang dari Jakarta ke Turki lalu melanjutkan perjalanan melalui jalur darat menuju perbatasan Suriah. Apa yang Windy hadapi selanjutnya jauh berbeda dengan yang dia bayangkan.
Baca juga: Eks PNS Pendukung ISIS Diisolasi karena Menolak Pelatihan Militer
Windy ingin kembali ke Indonesia untuk berkumpul bersama keluarga besarnya yang tinggal di kawasan Kramat 4, Jakarta Pusat. Apalagi, kini setelah ia terpisah dengan ayahnya yang dipenjara. “Pingin segera kumpul, tidak enak hidup di sini,” katanya.
Halimatun Sadiyah, simpatisan ISIS lainnya, juga berharap bisa segera kembali ke Tanah Air. Wanita asal Pamulang, Tangerang Selatan, ini menuturkan nasibnya di dalam kamp Al-Hawl yang berisi 73 ribu pengungsi kian tak jelas. Untuk hidup, ia berjualan minuman bersoda maupun makanan ringan di dalam pengungsian.
Menurut Halimatun, jumlah pengungsi asal Indonesia di Al-Hawl ada sekitar 200 orang. Semuanya, ucap dia, menaruh harapan bisa kembali ke Indonesia karena sempat muncul isu sudah ada 30 WNI yang menjadi pengungsi sudah dipulangkan ke Tanah Air. “Tapi tidak pernah jelas, di sini sudah berharap untuk pulang,” katanya.
Di pengungsian sendiri, ucap dia, banyak anak-anak, termasuk dari Indonesia, yang meninggal karena sakit. Ketua Komisi Luar Negeri Otoritas Kurdistan Suriah, Abdulkarim Omar, mengatakan jumlah anak kecil yang meninggal karena alasan kesehatan saat peperangan di Baghouz saja sebanyak 250-300 orang.
Tempo pun menemui nenek dan tante Windy, Acih dan Vivi Fatimah, di rumahnya di Kramat 4, Jakarta Pusat. Keduanya langsung berurai air mata ketika mengetahui nasib Windy. Menurut Vivi, keluarganya terakhir kali dapat kabar dari Windy pada awal tahun lalu. Ketika itu ada kawan semasa kecil Windy yang datang. “Dia berpesan hanya ingin pulang,” katanya.
Menurut Acih, awalnya tidak ada yang tahu Ali, Rahmawati, dan Windy pergi ke Suriah. “Ali menelepon ketika sudah tiba di Suriah,” ujarnya. Keluarganya kaget karena selama di Indonesia kehidupan ekonomi keluarga mereka cukup mapan. Ali bekerja sebagai manajer sumber daya manusia pada salah satu showroom mobil di Jakarta Pusat.
Acih dan Vivi pun tak bisa berbuat apa-apa. “Kami ingin mereka pulang, tapi tidak tahu caranya,” ujar Acih.
Baca: Komnas HAM Minta Pemerintah Pulangkan WNI di Suriah
Ketua Komisi Luar Negeri Otoritas Kurdistan Suriah, Abdulkarim Omar, menuturkan siap menyerahkan simpatisan ISIS asal Indonesia yang berada di pengungsian. “Kami sangat siap menyerahkan wanita dan anak-anak ke negara asal mereka,” katanya. Namun, ucap dia, sudah dua tahun tidak ada komunikasi antara Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Otoritas Kurdistan Suriah. Saat itu, komunikasi terjalin ketika mengembalikan 18 orang WNI yang berada di Raqqah, salah satunya adalah Dwi Djoko Wiwoho.