TEMPO.CO, Jakarta - Polri menanggapi pernyataan Amnesty Internasional Indonesia yang menuding polisi luput menjelaskan soal korban jiwa dan pelaku saat terjadinya kerusuhan 22 Mei. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengatakan polisi kesulitan mengetahui lokasi kejadian tewas-nya sembilan korban tersebut.
Baca juga: Polri Selidiki Keterlibatan Tim Mawar dalam Kerusuhan 22 Mei
"Karena korban ini atau pelaku yang diduga aksi rusuh langsung diantarkan ke rumah sakit. Jadi kami harus menelusuri kembali di mana korban-korban itu jatuh kemudian meninggal dunia," kata dia di kantornya, Jakarta Selatan pada Rabu, 12 Juni 2019. Asep mengatakan lokasi kejadian menjadi titik utama dalam penyelidikan mengungkap kasus ini.
Dia berjanji jika polisi mengetahui lokasi tewas-nya korban, petugas bisa langsung mengembangkan penyelidikan. "Kami kembangkan saksi yang melihat, mengetahui, dan mendengar. Kemudian karena ini meninggal yang diduga akibat peluru tajam, maka harus tahu bagaimana arah tembak, jarak tembak, dan sebagainya," kata Asep.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan tertulis mengatakan, alih-alih menunjukkan perkembangan penyidikan penyebab korban tewas dan pelaku yang harus bertanggungjawab, polisi hanya mengunhkapkan rencana pembunuhan dalam Aksi 22 Mei.
Hal itu, kata Usman, membuat sejumlah keluarga korban kecewa. "Seharusnya polisi mengungkapkan bukti-bukti yang memadai tentang penyebab kematian mereka terlebih dulu, lalu mengumumkan siapa-siapa yang patut diduga sebagai pelaku penembakan," ucap Usman.
Hingga saat ini, Polri belum bisa menyimpulkan pihak yang bertanggung jawab atas meninggalnya sembilan orang dalam rangkaian kerusuhan 22 Mei 2019. Polisi menduga sembilan orang yang meninggal itu bagian dari kelompok perusuh.
"Kami harus sampaikan, bahwa sembilan korban meninggal dunia kami duga penyerang, perusuh," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, pada 11 Juni 2019.
Dalam aksi unjuk rasa protes hasil pemilihan presiden itu, Polri membagi massa menjadi dua kelompok. Massa pertama adalah ribuan massa yang menjalankan protes unjuk rasa secara damai, yakni pada 21 dan 22 Mei siang hingga waktu berbuka.
Kelompok kedua, yakni ratusan massa yang disebut polisi sebagai provokator kerusuhan. Massa kedua tersebut dianggap menciptakan kerusuhan pada malam hari, setelah massa damai berusaha membubarkan diri dengan tertib.
ANDITA RAHMA | FIKRI ARIGI