TEMPO.CO, Jakarta - Ajun Komisaris Polisi (AKP) Ibrahim J. Sadjab, anggota Birgade Mobil (Brimob), menceritakan peristiwa yang dialaminya saat pecah kerusuhan 22 Mei. Kisah itu ia ungkapkan saat dijenguk Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa, 28 Mei 2019.
Baca juga: Penyebar Hoaks Anggota Brimob Asal Cina Mengaku Khilaf
Dengan tangan kanan yang dibaluti gips, Ibrahim bercerita bahwa pada 22 Mei dinihari, ia tidak bertugas mengamankan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Saat itu dia bertugas di Polda Metro Jaya.
Usai melakukan apel di Polda Metro Jaya, polisi berpangkat perwira pertama itu pun beristirahat. Ketika itu jam 02.00 pagi dia mendengar penjaga mengetok pintu dan dilapori bahwa markas diserang. Yang dimaksud markas adalah Asrama Brimob di Petamburan, Jakarta Pusat. “Ketika itu saya lihat anggota yang lain pakai helm dan senjata, saya juga segera pakai perlengkapan yang sama," kata Ibrahim.Polisi membuat barikade saat terjadi bentrok dengan pendemo rusuh di Jalan KS Tubun, Jakarta, Rabu 22 Mei 2019. Diduga massa tersebut merupakan massa yang sama yang dipukul mundur dari kerusuhan yang terjadi di asrama Brimob. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Situasi di Jakarta saat itu siaga 1. Ibrahim dan sejumlah rekannya kemudian menuju Asrama Brimob di Petamburan. Tiba di lokasi, Ibrahim melihat ada mobil yang terbakar. Kemudian dari dua arah, yaitu dari Slipi dan dari Tanah Abang, dia dan rekannya sudah dikepung ratusan massa. Ia pun segera meminta bantuan dengan mengontak HT Garda 00.
Meski kalah jumlah, Ibrahim dan anggota Brimob lainnya bertahan, lantaran ada istri dan anak-anak yang tinggal di asrama. Mereka sudah panik dan ketakutan. Atasan Ibrahim juga meminta agar amunisi senjata yang dibawa Brimob diganti dengan peluru karet. "Tidak ada yang memakai amunisi tajam," ujar dia.
Saat itu, Ibrahim mengaku dilempari batu, botol beling, bom molotov, dan mercon. Bahkan, massa perusuh juga melempari Ibrahim dengan ketapel dan mengenai kemaluannya. Ibrahim yang berada di barisan paling depan kemudian memerintahkan anggotanya menembakkan gas air mata.
Setelah massa mulai mengurai dan efek gas air mata mulai berkurang, ada seseorang yang memprovokasi untuk menyerang Ibrahim. Saat diserang, salah satu rekan Ibrahim melepas tembakan peluru karet. Namun massa tak kunjung bubar.
Ibrahim kemudian menarik salah satu anggota pasukan yang berdiri di depannya. Sambil berlari mundur, Ibrahim tersandung karena handy talkie-nya jatuh. Massa perusuh pun kembali melempari batu yang mengenai kepala Ibrahim.
Dalam keadaan setengah tak sadar, salah satu rekannya menolong. Saat itu, Ibrahim merasakan lengannya seperti terlepas. Belakangan diketahui ia mengalami dislokasi sendi. Rekannya yang menarik Ibrahim juga terkena lemparan batu yang mengakibatkan bibirnya robek. "Kalau tidak ditolong mungkin saya sudah tidak ada (meningal dunia)," kata dia.