TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan sebanyak 28 ribu aparat TNI dan Polri akan mengamankan aksi 22 Mei 2019 atau Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat. "Cukup besar ya, antara 28 ribu. Masyarakat enggak perlu takut," kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin, 20 Mei 2019.
Baca: PA 212 Sayangkan Hendropriyono Siapkan Anjing untuk Aksi 22 Mei
Moeldoko mengatakan, pemerintah telah sepakat bahwa aparat TNI-Polri dilarang membawa senjata berpeluru tajam. Antisipasi selanjutnya adalah aparat harus menghindari kontak langsung dengan massa. Langkah tersebut, kata Moeldoko, juga disiapkan sebagai antisipasi aparat TNI-Polri menjadi korban tuduhan.
"Secara taktikal kita sudah susun dengan baik, sehingga kita sangat berharap enggak ada lagi TNI-Polri jadi korban dari sebuah skenario yang disiapkan," ujarnya.
Menurut Moeldoko, ada kemungkinan saat aksi protes terhadap Komisi Pemilihan Umum itu berlangsung, TNI-Polri akan menjadi korban tuduhan oleh kelompok yang memanfaatkan kumpulan massa. Pasalnya, baru-baru ini, aparat telah menangkap kelompok penyelundup senjata yang bertujuan mengacaukan aksi 22 Mei.
Moeldoko menduga, kelompok penyelundup senjata itu akan menembak kerumunan massa aksi, sehingga yang terlihat seolah-olah dilakukan aparat keamanan. "Itu menjadi trigger berawalnya sebuah kondisi chaos. Semua yang kita katakan bukan bualan," kata dia.
Polisi yang mengamankan Aksi 22 Mei hanya akan membawa tameng, water canon, dan gas air mata untuk menghadapi gerakan protes terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan mengumumkan hasil rekapitulasi nasional pemilihan presiden atau Pilpres 2019.
Baca: Hendropriyono: Massa Aksi 22 Mei Sebagian Bekas HTI dan FPI
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, jika ditemukan ada penggunaan peluru tajam dan senjata api pada aksi massa, maka patut diduga itu adalah aksi terorisme.