TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjelaskan kasus pidana makar, berbeda dengan kasus pidana biasa, sehingga tak perlu menunggu tindakan makar terjadi, baru pelakunya ditangkap.
Baca juga: Kasus Makar Eggi Sudjana, Polisi Minta Kesaksian Bachtiar Nasir
"Lho kalau sudah terjadi negara bubar, yang nangkap sopo? Yang adili siapa? yang usut siapa?," ujar Wiranto di Hotel Paragon, Jakarta pada Kamis, 16 Mei 2019.
Wiranto menyatakan hal tersebut karena banyak perdebatan apakah merencanakan tindakan pembangkangan terhadap negara, sudah termasuk makar atau menunggu tindakan makar sudah dilakukan, baru pelakunya bisa ditangkap.
"Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, untuk pidana makar, konstruksinya tidak perlu sempurna. Jadi sudah merencanakan, menghasut, dan mempersiapkan (makar) itu sudah masuk (pidana)," ujar Wiranto.
Wiranto mengklaim tim asistensi hukum bentukannya membantu langkah hukum mengenai dugaan kasus makar menjadi jelas. "Terbukti sekarang Eggi Sudjana bisa kita proses hukum, Kivlan Zen, Permadi lagi nunggu, siapa lagi? Makanya kalau enggak mau berhubungan dengan polisi, jangan ngomong macem-macem. Kalau udah berurusan, baru ngelak, tapi udah tersebar omongannya di mana-mana," ujar Wiranto.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, makar dalam konteks hukum diatur dalam Pasal 104, 106, dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada intinya diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden, memisahkan diri sebagian wilayah negara, dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Dalam konteks negara demokrasi, kata Fickar, ketentuan makar tidak lagi relevan lantaran Undang-Undang Dasar 1945 menyediakan mekanisme pemakzulan presiden dan wakil presiden. Penerapan pasal makar itu, kata dia, lebih tepat diterapkan pada perbuatan yang bersifat teror. Namun kini, aparat cenderung menyederhanakan pengertian makar dengan aksi unjuk rasa. "Demikian juga dengan people power, padahal makar itu substansinya teroris."
Baca juga: Bilang Megawati Makar ke Gus Dur, Rachmawati Dituding Balik PDIP
Sependapat dengan Fickar, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Anugerah Rizki Akbari menyarankan perubahan terminologi makar menjadi 'serangan' dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Lebih baik hilangkan itu (istilah Makar) dan ganti 'serangan', dengan itu baru kita bisa tahu bahwa dengan adanya serangan baru kita bisa hukum perbuatan itu," ujarnya, dalam acara 'Menalar Makar: Miskonsepsi Delik Makar dalam Penegakan Hukum', di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, kemarin.