TEMPO.CO, Medan - Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berhasil mencokok dua warga negara asing dari Cina yang hendak menyelundupkan puluhan sisik trenggiling ke Tiongkok, pada akhir April 2019 lalu.
Kedua tersangka, PF (33 tahun) dan XY (28 tahun) ditangkap saat mencoba naik ke pesawat Air Asia ke Guangzhou, Cina via Kuala Lumpur, Malaysia, di Bandara Kuala Namu, Medan, Sumatera Utara, pada 20 April 2019.
Kasubdit Penmas Polda Sumut AKBP Mangantar Pardamean (MP) Nainggolan memastikan kedua penyelundup itu kini dititipkan di tahanan Polda Sumut. "Penyidikannya dilakukan pihak Kriminal Khusus Polda Sumut. Jadi kami koordinasi dengan Polhut,” kata Mangantar Pardamean Nainggolan kepada Tempo.
Ketika ditangkap, kedua warga Tiongkok ini menyembunyikan puluhan sisik trenggiling di dalam beberapa barang bawaan mereka seperti dompet, saku baju, bantal, tas sandang, amplop berwarna merah, dan kaos kaki. Upaya penyelundupan ini terbongkar ketika barang-barang mereka tidak lolos dalam pemeriksaan mesin X-ray oleh Petugas Bandara Kualanamu, Medan.
"Kami langsung memproses penyelidikan dan penyidikan bersama dengan Polda Sumatera Utara dan Konsulat Republik Rakyat Tiongkok," kata Haluanto Ginting, Kepala Seksi Wilayah I Balai Gakkum Wilayah Sumatera, ketika dihubungi pada 25 April 2019.
Upaya penyelundupan sisik trenggiling ini, kata dia, jelas melanggar hukum Indonesia. Menurut Haluanto, sesuai peraturan, semua perdagangan ilegal atas kulit, tubuh, atau bagian lain dari satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian tubuh satwa dilindungi, terancam sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta.
Aturan ini tertuang dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 21 Ayat 2d Jo. Pasal 40 Ayat 2. Ada juga Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa Jo. Permen LHK No 106 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Permen LHK No P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Barang bukti puluhan sisik trenggiling yang hendak diselundupkan di Bandara Kuala Namu, Medan pada 20 April 2019 (Foto: KLHK)
Insiden penyelundupan trenggiling semacam ini bukan yang pertama. Lima tahun terakhir, banyak kasus serupa terbongkar di tanah air. Trenggiling merupakan salahsatu hewan dilindungi yang paling banyak diselundupkan dari Indonesia.
Sofi Mardiah, Wildlife Trade and Policy Program Manager, Wildlife Conservation Society (WCS) kepada Tempo mengatakan, kasus perdagangan ilegal trenggiling memang paling banyak ditemukan di Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), dan Surabaya (Jawa Timur). Lokasi-lokasi ini kerap menjadi titik penyelundupan karena mempunyai pelabuhan internasional. Menurut Sofi, penyelundup umumnya berusaha mengirim trenggiling beku ke negara tujuan dalam jumlah besar dalam kontainer.
WCS memang memantau data perdagangan ilegal satwa liar sejak 2003, melalui Widlife Crime Unit (WCU). Menurut Sofi, keempat kota di atas, adalah bagian dari rantai perdagangan trenggiling yang melibatkan sindikat dari Cina, Malaysia, Hongkong dan Vietnam. “Perdagangan trenggiling ini marak karena tingginya permintaan internasional dari Cina dan Vietnam,” kata Sofi Mardinah.
Trenggiling dari Indonesia, kata dia, umumnya diperdagangkan untuk konsumsi, yaitu dimakan dagingnya (makanan eksklusif) dan sisiknya diolah jadi obat-obatan tradisional. Dari 23 kasus perdagangan ilegal yang terbongkar di Indonesia, ada 15 kasus perdagangan trenggiling secara konvensional. Sedangkan 7 kasus lainnya merupakan kasus penyelundupan ke Cina, Malaysia, Hong Kong, dan Laos. Selain itu, terdapat satu kasus dimana pelaku melakukan perdangangan secara online dengan memanfaatkan media social Facebook.
Data WCS menunjukkan, dari puluhan kasus perdagangan trenggiling selama 2015-2018, penyelundupan 3.369 ekor trenggiling berhasil digagalkan. “Total pelaku yang berhasil diamankan oleh apparat penegak hukum adalah 43 pelaku,” kata Sofi.
Dari puluhan tersangka itu, 36 orang di antaranya telah ditetapkan menjadi tersangka dan telah dijatuhkan vonis oleh hakim. Sisanya, 3 orang pelaku masih menjalani proses penyidikan, 3 pelaku berstatus DPO (Daftar Pencarian Orang), dan 2 pelaku ditetapkan sebagai saksi.
Pelaku penyelundupan trenggiling di Indonesia dijerat dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1990, dengan vonis tertinggi adalah penjara 54 bulan dan denda Rp. 100 juta dan subsider enam bulan. Sedangkan vonis terendah adalah penjara 3 bulan dan denda Rp. 5 juta dan subsider dua bulan.
Selain menggunakan UU 5 tahun 1990, penegak hukum di Indonesia menggunakan beberapa terobosan hukum seperti menjerat pelaku menggunakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Penucian Uang (TPPU) agar ada tambahan vonis penjara sepanjang 24 bulan, denda Rp. 800juta dan subsider tiga bulan. “Sementara vonis terendah adalah penjara 12 bulan dan denda Rp. 20 juta dan subsider dua bulan,” kata Sofi.
Sayangnya, keberadaan semua regulasi dan penegakan hukum tersebut masih belum menyelesaikan masalah. Nasib trenggiling di Indonesia masih terus menerus terancam.
TOMMY APRIANDO (KONTRIBUTOR TEMPO)