INFO NASIONAL -- Hasil Rapat Kerja Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan pemerintah di Ruang GBHN Gedung Nusantara V Kompleks DPR/MPR/DPD, Selasa, 7 Mei 2019 sepakat jika pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 telah berlangsung dengan lancar, aman, tertib dan damai. Lantaran proses perhitungan suara masih berlangsung, DPD juga dengan tegas mendukung penuh TNI/Polri untuk menjalankan tugas sesuai konstitusi dan menggunakan kewenangannya mengambil tindakan tegas kepada siapapun yang melakukan ancaman dan ketertiban yang mengancam pemilu dan stabilitas keamanan.
Hadir dalam Rapat Kerja Evaluasi Pemilu Serentak 2019 yaitu Ketua DPD RI Oesman Sapta, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, Akhmad Muqowam, Pimpinan Komite I Benny Rhamdani, Fahira Idris, Fachrul Razi, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Tito Karnavian, Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksamana, Asisten Jaksa Agung Asep Nana Mulyana, Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting, serta anggota Komite I DPD RI.
Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang usai rapat kerja mengatakan Pemilu 2019 adalah pemilu luar biasa yang sangat besar dan baru pertama kali digelar dunia. Dalam demokrasi Indonesia yang baru berusia 21 tahun ini, ke depan pemerintah harus menyiapkan pemilu yang semakin baik.
“Dalam proses inilah kita harus memfinalisasi ke depan jangan sampai kita setiap tahun mengubah undang-undang. Namun tugas pelaksana pemilu yang akan datang harus memberikan kenyamanan bagi semua pemilih. Saya atas nama DPD mengatakan bahwa pemilu 2019 tertib aman, lancar dan damai,” kata Oesman.
Oesman berharap tidak ada lagi orang-orang yang mencoba melakukan kebohongan. Sebab, sebagaimana ditegaskan pemerintah dan pihak keamanan bahwa mereka tidak pernah melakukan intervensi. “Kita harus percaya pada keamanan yang telah teruji mengamankan bangsa,” tutur Oesman Sapta.
Senada dengan itu, Ketua Komite I Benny Rhamdani mengatakan meskipun pemilu paling rumit yang pernah diadakan di Indonesia ini dianggap berhasil namun perlu dilakukan evaluasi terhadap hal-hal yang dianggap belum optimal dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 khususnya mempertimbangkan kembali ketentuan pemilu serentak. Komite I akan melakukan evaluasi dan kajian mendalam serta mendorong agar pemerintah, DPR RI, dan DPD RI bisa duduk bersama untuk melakukan perbaikan secara regulatif terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melalui mekanisme yang diatur oleh undang-undang.
“Kami juga mengajak semua pihak, baik kontestan pemilu dan seluruh elemen masyarakat untuk menghormati proses tahapan Pemilu serta menghimbau agar segala bentuk perbedaan pendapat diselesaikan dengan menggunakan koridor hukum,” ucap Benny.
Di dalam ruang rapat Tjahjo Kumolo menegaskan secara prinsip pemilu berjalan demokratis lancar aman dan terjamin tanpa intervensi pemerintah terhadap KPU dalam menyelenggarakan Pemilu.
“Pemilu yang diselengarakan KPU dilakukan secara mandiri dan ketat dan pemerintah tidak ikut campur satu incipun, kita menjaga mendukung pelaksanaan pemilu berjalan baik dan mendukung netralitas ASN dalam mendukung berjalannya pemilu ini, oleh karena itu kita perlu menghormati setiap proses dan tahapan pemilu yang ada sampai ditetapkan nanti,” kata Tjahjo.
Tito juga sependapat jika dalam pemilihan umum dengan partisipasi pemilih tertinggi hingga 81 persen ini tidak diintervensi kepolisian. Dia menyontohkan bagaimana proses perhitungan di real count itu dilakukan secara terbuka, tidak hanya disaksikan pengawas partai ataupun saksi, TNI dan Polri bahkan masyarakat boleh melihat proses itu.
“Di era keterbukaan siapapun boleh melihat, boleh foto, terbuka dan transparan,” kata Tito yang mengatakan bahwa setiap real count dari tingkat kecamatan hingga pusat didampingi TNI/Polri dan diekspose media dan meninggalkan jejak digital.
Senada dengan itu, Hadi mengatakan jika TNI juga menjaga netralitas. Hadi memprediksi, karena ketidakpuasan dan keberatan pada hasil pemilu akan menimbulkan aksi unjuk rasa dan penyerangan. Dia memprediksi akan banyak penyebaran berita hoax dan ada aktor-aktor yang sengaja mempolarisasi primordial, identitas dan kesukuan yang bisa menjadi eskalasi massa apalagi masyarakat Indonesia mudah terprovokasi.
“Yang jika tidak dikendalikan bisa mengganggu situasi keamanan,” kata Hadi. (*)