TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, merespon pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Wiranto yang hendak menutup media yang melanggar hukum. Wahyudin mengingatkan Wiranto soal mekanisme sengketa pers yang diatur oleh Undang-undang.
Baca: Wiranto: Media yang Bantu Langgar Hukum, Kalau Perlu Kami Tutup
“Seharusnya sebagai pemerintah menunjukkan kepada publik, jika ada pelanggaran yang mesti digunakan adalah mekanisme hukum. Terlebih jika itu media, karena media atau perusahaan pers secara konstitusional dijamin oleh UU dan sudah terdapat mekanisme sengketa pers,” kata Ade saat dihubungi, Selasa 7 Mei 2019.
Sebelumnya dalam rapat koordinasi di kantornya pada Senin, 6 Mei 2019, Wiranto membahas soal pelanggaran hukum yang terjadi baik sebelum atau sesudah Pemilu. Ia mengatakan pelanggaran yang dimaksud tak hanya sebatas insiden di dunia nyata tetapi juga di media sosial.
Untuk itu, dalam rapat tersebut, Wiranto mengundang Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Menurut dia, Kementerian Komunikasi dan Informatika memang sudah mengambil langkah tegas di media sosial. Namun, Wiranto ingin ada langkah yang lebih konkret. "Media mana yang nyata-nyata membantu pelanggaran hukum, kalau perlu kami shutdown, kami hentikan. Kami tutup demi keamanan nasional," ujar dia.
Ade Wahyudin menyebut langkah penutupan tersebut tidak tepat. Karena mengedepankan pendekatan kekuasaan. Sedangkan sanksi terhadap media perlu melalui proses sengketa pers melalui Dewan Pers.
Simak juga: Wiranto Bentuk Tim Hukum Nasional, Sandiaga: Kurang Kerjaan
Ia juga mengingatkan Wiranto, setelah Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999 dibuat, perusahaan pers tidak memerlukan izin khusus untuk mendirikan perusahaan pers. Dalam UU tersebut, kata dia, media hanya perlu melakukan pendaftaran administratif yang diajukan kepada Kementerian Hukum dan HAM. “Jadi saat ini hanya pendaftaran administratif saja yang diajukan kepada Kemenkumham, layaknya badan hukum lainnya selain usaha pers,” kata dia dia.