TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria mengingatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar segera memerintahkan para menterinya membuka data konsesi-konsesi perusahaan yang telah menyebabkan ketimpangan dan konflik agraria serta merugikan dan melanggar hak-hak masyarakat. Data-data konsesi yang dimaksud itu mencakup Hak Guna Usaha, Hak Tanaman Industri, Hak Guna Bangunan, Perhutani, Inhutani, dan izin tambang.
Baca: Jokowi Harap Permasalahan Sengketa Tanah Berkurang
"Segera overlay data-data konsesi tersebut dengan data-data wilayah hidup rakyat yang telah dilaporkan dan diusulkan berulang kali kepada pemerintah pusat dan daerah untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melalui keterangan tertulis, Ahad, 5 Mei 2019.
Dengan begitu, kata Dewi, presiden dapat mengganti acara-acara penyerahan sertifikat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan acara pelepasan dan pengeluaran kawasan desa-desa, kampung-kampung, sawah, kebun masyarakat, ladang penggembalaan, tambak, fasilitas umum, dan fasilitas sosial masyarakat dari klaim tanah atau hutan negara, HGU, dan konsesi lainnya.
Dewi menilai cara ini dapat mempercepat penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Namun dia juga mengingatkan langkah ini hanya permulaan dari agenda reforma agraria sejati sesuai Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Dewi sekaligus merespons hasil rapat terbatas kabinet yang digelar Presiden Jokowi pada Jumat, 3 Mei 2019. Dalam ratas itu, Jokowi memerintahkan percepatan penyelesaian masalah pertanahan dan sengketa lahan di Indonesia, yang meliputi konflik rakyat dengan perusahaan swasta, perkebunan negara, ataupun dengan pemerintah, termasuk penertiban konsesi-konsesi yang bermasalah dengan rakyat.
KPA mengapresiasi hasil ratas dan perintah Jokowi. Mereka juga berharap hal itu tak menguap. Menurut catatan KPA, sepanjang 2019 Jokowi telah beberapa kali memberikan instruksi serupa, yakni dalam ratas di bulan Februari dan Maret. Namun, KPA menilai jajaran kementerian terkait seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara justru menghindari langkah penyelesaian konflik agraria bersama rakyat.
"Mereka kembali pada kerja-kerja bussines as usual, di mana masalah konflik agraria dengan rakyat dipandang sebagai problem administrasi hukum semata, bukan sebagai problem keadilan sosial," kata Dewi.
KPA juga menilai komitmen ratas itu akan menguap jika para pimpinan daerah, yakni gubernur dan bupati tidak diperintahkan mengambil langkah yang sejalan dengan agenda reforma agraria ini.
Tuntutan penyelesaian konflik agraria selalu dinyatakan gerakan masyarakat sipil. KPA mencatat, satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mewariskan konflik agraria yang dialami 926.700 kepala keluarga, disertai penangkapan 1.534 petani dan masyarakat adat di banyak tempat di Indonesia.
Warisan masalah itu, kata Dewi, menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Masyarakat luas utamanya petani, penggarap, buruh tani, dan masyarakat adat menanti penyelesaiannya. KPA menganggap pemerintahan Jokowi selama 4 tahun ini belum serius menyelesaikan konflik agraria. Sejak 2015-2018, KPA mencatat ada 1.769 kejadian konflik agraria di seluruh provinsi.
"Para menteri terkait enggan menyentuh wilayah-wilayah konflik agraria yang bersifat struktural untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria," ucap Dewi.
Dewi juga menganggap unit-unit penyelesaian konflik dan sengketa agraria yang ada di kementerian dan lembaga negara tak sanggup berbuat banyak. Sebab, konflik agraria adalah problem lintas sektor pemerintahan sehingga unit-unit yang ada di kementerian dan lembaga tidak dapat menyelesaikan konflik agraria secara tuntas dan berkeadilan.
Maka dari itu, KPA menilai Jokowi perlu langsung memimpin, mengawasi, serta mengambil langkah korektif yang cepat dan sistematis dalam penyelesaian masalah agraria ini. Dewi berujar, Jokowi juga bisa mengevaluasi para menterinya berdasarkan kinerja merampungkan konflik agraria.
Baca: Kata BPN Jakarta Timur Soal Sertifikat Gratis Jokowi Rawan Pungli
"Presiden Jokowi seharusnya menggunakan kecepatan dan ketepatan penyelesaian konflik agraria sebagai langkah melakukan evaluasi kinerja para menteri," ucap Dewi.