TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali untuk mengundurkan diri. Desakan itu muncul setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali meringkus seorang hakim dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Baca: Satu Lagi Hakim Kena OTT, KPK: Kami Kecewa
"Dia (Hatta Ali) dinilai telah gagal untuk menciptakan lingkungan pengadilan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi," ucap peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, Sabtu, 4 Mei 2019.
ICW, kata Kurnia, mencatat selama era kepimpinan Hatta Ali, terhitung hakim Kayat, sudah ada 20 orang hakim yang terlibat praktik korupsi. Padahal di lain hal regulasi yang mengatur pengawasan pada lingkungan MA telah tertuang secara jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung No 8 Tahun 2018.
Kurnia menilai, implentasi dari regulasi tersebut telah gagal dijalankan di lingkup pengadilan. "Kejadian ini harusnya menjadi bahan refleksi yang serius bagi dua institusi pengawas hakim, yakni Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial," kata dia.
Dalam OTT ini, KPK menduga hakim Pengadilan Negeri Balikpapan tersebut menerima janji Rp 500 juta untuk memutus bebas terdakwa kasus pemalsuan surat di Pengadilan Negeri Balikpapan Sudarman. Kayat mendapatkan janji tersebut dari Sudarman melalui kuasa hukumnya, Jhonson Siburian.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka: KYT (Kayat), SDM (Sudarman) dan JHS (Jhonson Siburian)," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di kantornya, Jakarta Selatan.
Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 3 Mei 2019. Penyidik meringkus mereka di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dari hasil penangkapan terhadap ketiganya, KPK menyita sejumlah barang bukti di antaranya, uang senilai Rp 99 juta di dalam tas kresek hitam, uang Rp 28,5 juta di tas Kayat, dan uang Rp 100 juta dalam pecahan Rp 100 ribu di kantor Jhonson.
Simak juga: KPK Tepis Isu Bersih-bersih Penyidik dari Unsur Kepolisian
"Tertangkapnya hakim Kayat mengkonfirmasi sistem pengawasan yang belum berjalan secara optimal," kata Kurnia. Ia menyarankan, ke depan KPK dan MA perlu merumuskan ulang grand design pengawasan. Bahkan, jika diperlukan, KPK dapat dilibatkan sebagai pihak eksternal.