TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengusut dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Firli dan Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan. "Keduanya diduga melanggar etik sebagaimana tertuang dalam Peraturan KPK No 7 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK," kata peneliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana, lembaga yang tergabung dalam koalisi lewat keterangan tertulis, Jumat, 3 Mei 2019.
Baca juga: Wadah Pegawai KPK Dukung Pelantikan 21 Penyidik Baru KPK
Koalisi menyatakan Firli diduga melakukan pelanggaran kode etik karena bertemu serta bermain tenis dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, pada 13 Mei 2018. Padahal saat itu KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi terkait divestasi PT Newmont Nusa Tenggara yang kini bernama PT Amman Mineral Nusa Tenggara. "Kasus ini diduga melibatkan TGB, bahkan yang bersangkutan juga telah diperiksa oleh KPK," kata Kurnia.
Koalisi menuding perbuatan Firli berpotensi melanggar Peraturan pada poin Integritas angka 12 yang menyebutkan pelarangan bagi pegawai KPK untuk berhubungan langsung dengan tersangka atau terdakwa atau pihak lain yang perkaranya tengah diusut KPK.
TGB pernah diperiksa KPK terkait kasus ini. Penyelidik menanyai TGB dengan 20 pertanyaan mengenai keputusan divestasi, penjualan saham serta aliran dana ke rekening pribadinya. “Salah satu pertanyaan tentang aliran dana dari PT Recapital Asset Management ke rekening Bank Syariah Mandiri saya,” kata TGB menceritakan materi pemeriksaannya, kepada Tempo, Jumat, 14 September 2018.
Adapun soal pertemuannya dengan Firli, TGB menampik jika pertemuan itu membincangkan divestasi Newmont. “Saya menghormati beliau. Bagian dari penghormatan saya adalah memastikan beliau bekerja secara profesional,” ucapnya.
Adapun Pahala Nainggolan diduga mengirimkan surat balasan soal pengecekan rekening pada salah satu bank swasta. Menurut Kurnia, hal itu janggal karena perusahaan yang mengirimkan surat pada KPK tersebut tidak sedang berperkara di lembaga anti korupsi itu. "Maka dapat disimpulkan bahwa surat tersebut tidak ada urgensinya untuk ditindaklanjuti oleh KPK," kata dia.
Koalisi menyatakan telah melaporkan dugaan itu pada Oktober 2018. Namun, hingga sekarang Pimpinan KPK belum mengambil keputusan terkait perkembangan pelaporan koalisi tersebut. Padahal Koalisi sebagai pelapor mempunyai hak untuk diberikan informasi terkait hal itu oleh KPK. "Dengan kondisi seperti ini dikhawatirkan akan mengurangi nilai transparansi dan akuntabilitas yang selama ini dikenal di lembaga anti rasuah," kata Kurnia.
Baca juga: Wadah Pegawai Sebut Teror Pimpinan KPK adalah Ancaman Kesembilan
Untuk itu, sejumlah lembaga yang tergabung dalam koalisi seperti ICW, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta berencana mendatangi gedung KPK. Bersama mereka datang juga sejumlah tokoh, seperti mantan Komisioner KPK, Abraham Samad, eks Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein.
Mereka mendatangi KPK untuk mendesak pimpinan lembaga antirasuah itu segera memberikan putusan atas dugaan pelanggaran kode etik tersebut. "Di dalam diskusi nanti kami akan memberikan dukungan dan sekaligus meminta pimpinan KPK supaya tidak takut dan tidak loyo untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sedang terjadi di KPK," kata Abraham di depan Gedung KPK, Jumat, 3 Mei 2019.
Tempo telah menghubungi Pahala dan Firli melalui pesan WhatsApp mengenai laporan koalisi tersebut. Namun keduanya belum memberi tanggapan.