TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Kisaran, Sumatera Utara menjatuhkan vonis 9 bulan penjara untuk Muhammad Yusroh Hasibuan, terdakwa dalam kasus yang pencemaran nama Kepala Polda Sumatera Utara yang menggunakan Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. “Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim, Ulina Marbun dalam sidang yang digelar Kamis, 11 April 2019.
Baca juga: Kebebasan Pers di Indonesia Masih Terancam
Menurut Majelis Hakim, Yusroh dinyatakan terbukti melanggar Pasal 27 ayat 3 junto Pasal 45 ayat 3, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi Transaksi Elektronik jo Pasal 316 KUHPidana.
Kasus ini berawal saat Yusroh mengunggah sebuah foto unjuk rasa di depan Polres Pematangsiantar yang terjadi pada Kamis, 27 September 2019 lewat grup percakapan WhatsApp.
Anggota grup bertanya perihal foto yang dikirimkan Yusroh. Selanjutnya, Yusroh menjawab “Siantar Simalungun, GMNI,GMKI,HMI, Himmah BEM dan lain lain. Mengutuk tindakan represif oknum Polri. Copot Kapoldasu”.
Dalam dakwaan yang dibacakan di sidang sebelumnya, Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Agus Andrianto merasa dipermalukan dan direndahkan martabatnya usai membaca screenshot unggahan Yusroh. Selanjutnya, Yusroh ditangkap Polda Sumatera Utara pada 7 November 2018.
Vonis yang dijatuhkan lebih rendah dari tuntuan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hadi Nur. Sebelumnya, Yusroh dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara.
Yusroh dianggap dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Menanggapi putusan tersebut, Kuasa Hukum Yusroh, Maswan Tambak, mengatakan masih mempelajari lebih lanjut dan berdiskusi dengan Yusroh. Apakah akan melakukan banding atau tidak dalam terhadap putusan Majelis Hakim.
Maswan merasa kecewa atas putusan yang dijatuhkan kepada Yusroh. Pihaknya menganggap jaksa tidak bisa membuktikan dakwaannya.
“Kita berpendapat itu bukan tindak pidana, karena kalimat 'Copot Kapoldasu' itu bukan pasal pidana, itu kan jabatan. Selain itu Yusroh saat itu sifatnya memberikan informasi kepada anggota grup," ujar Maswan Tambak, saat dihubungi Kamis malam, 11 April 2019.
Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara menyatakan putusan hakim menjadi tanda bahaya bagi proses demokrasi.
Baca juga: Polri Jerat Robertus Robet dengan Pasal Penghinaan Institusi
“Kasus ini bisa menjadi yurisprudensi bagi peristiwa serupa dikemudian hari. Ini menjadi pertanda buruk bagi penegakan hukum menggunakan jerat UU ITE, yang lagi-lagi memakan korban," kata Koordinator KontraS Sumatera Utar, Muhammad Amin Multazam Lubis, saat dijumpai di Kantor KontraS Sumatera Utara di Medan.
Amin menganggap tafsir semena-mena dari penegak hukum dalam menentukan seseorang bersalah melakukan pencemaran nama baik, mencerminkan penegakan hukum yang kejam. Apalagi UU ITE kerap digunakan pejabat pblik untuk membungkan kebebasan berpendapat.
Lebih lanjut, Amin mengatakan aparat penegak hukum harus lebih memahami tafsir dari kebebasan berekspresi yang tertual dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights.
“Standar HAM harusnya dipahami penegak hukum untuk melaksanakan pasal pencemaran nama baik melalui UU ITE,” kecam Amin.