TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan kebocoran informasi yang menyebabkan gagalnya rencana operasi tangkap tangan tak pernah terjadi di masanya. "Saya kurang ingat persis tapi kayaknya dulu enggak pernah terjadi hal-hal seperti itu," kata Samad di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 11 April 2019.
Berita terkait: 5 Poin Petisi Pegawai KPK Soal Hambatan yang Dikeluhkan Penyidik
Sebelumnya kemungkinan kebocoran beberapa operasi tangkap tangan diungkapkan sejumlah pegawai KPK lewat sebuah petisi yang diteken 114 pegawai KPK. Petisi itu mereka sampaikan kepada pimpinan KPK pada akhir Maret lalu.
Dalam petisi itu mereka menyebut bahwa dalam beberapa bulan terakhir penyelidikan kerap bocor hingga berujung kegagalan pada operasi tangkap tangan. "Kebocoran itu berefek pada munculnya ketidakpercayaan di antara pegawai dan pimpinan serta membahayakan keselamatan personel di lapangan," tulis petisi yang ditandatangani oleh penyidik dan penyelidik itu.
Salah satu operasi yang diduga bocor adalah proses pengintaian sebagai bagian dari operasi tangkap tangan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pada 2 Februari malam lalu. Tim satuan tugas KPK sedang memantau informasi rencana pemberian uang dari pejabat Pemerintah Provinsi Papua kepada pejabat kementerian di Jakarta. Operasi ini gagal.
Dua personel KPK, yakni Muhammad Gilang Wicaksono dan Indra Mantong Batti, dianiaya sejumlah orang, termasuk Sekretaris Daerah Papua Hery Dosinaen, yang oleh polisi kemudian dijadikan sebagai tersangka kasus penganiayaan.
Karena seringnya operasi bocor ini, beberapa penyidik perlu “kucing-kucingan”. Mereka menggunakan dana pribadi untuk mengejar sasaran dan baru diklaim ke kantor setelah operasi selesai. Hal ini dilakukan sewaktu penyidik menangkap Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy pada pertengahan Maret lalu.
Samad mengatakan KPK sebenarnya memiliki sistem yang bisa mencegah kebocoran informasi terkait OTT. Sehingga, dia tak mengetahui mengapa dugaan kebocoran tersebut bisa terjadi.
Menurut dia, yang terpenting sekarang, pimpinan harus mengambil sikap terkait dugaan tersebut. Pimpinan KPK, kata dia, perlu menggelar sidang kode etik untuk membuka dugaan pelanggaran kode etik yang sebenarnya menjadi penyebab dari kebocoran informasi tersebut. "Harus ada proses untuk mengadili peristiwa itu supaya tidak terulang."
Samad menceritakan sidang kode etik pernah digelar pada masa kepemimpinannya pada 2011-2015. Saat itu, Sekretaris Samad, Wiwin Suwandi, diduga membocorkan surat perintah penyidikan atas kasus Anas Urbaningrum. Samad juga menjalani sidang Komite Etik KPK.
Samad mengatakan kala itu, sidang digelar terbuka, walaupun sebenarnya bisa dilakukan terutup. Dia meminta keterbukaan seperti itu dilakukan pimpinan era ini untuk memberikan edukasi pada masyarakat. "Hal itu dilakukan agar masyarakat tahu pertanggungjawaban KPK sampai sejauh mana kita mengadili pegawai yang melanggar," kata dia.