TEMPO.CO, YOGYAKARTA - Permaisuri Raja Keraton Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas menilai rentetan peristiwa kasus intoleransi di Yogya belakangan seolah sengaja diciptakan dengan agenda kepentingan tertentu.
Simak: GKR Hemas dan 7 Tokoh Ini Dapat Tanda Kehormatan dari Jokowi
"Yogya itu setiap kali coba diobrak-abrik (lewat kasus intoleransi), supaya Yogya tidak tenang," ujar Hemas di sela menggelar pertemuan dengan perhimpunan Wanita Katolik Republik Indonesia, Parisada Hindu Darma Indonesia dan Aliran Kepercayaan di Keraton Kilen Yogya Rabu petang 10 April 2019.
Seperti terakhir kasus yang menimpa seniman Slamet Jumiarto, yang sempat ditolak mengontrak rumah di Dusun Karet Bantul karena aturan dukuh itu melarang non-muslim tinggal. Belakangan usai kesepakatan warga yang diskriminatif itu terbuka ke publik dan jadi sorotan, lantas dicabut oleh perangkat setempat.
"Kita mudah diserang dari luar kalau di dalamnya tidak kuat, persatuan sebagai warga negara itu penting sekali, suku apapun, agama apapun," ujar Hemas.
Hemas menuturkan sebagai bagian dari Indonesia yang majemuk masyarakatnya, Yogya harus bisa menjadi rumah nyaman bagi semua suku, agama, ras, dan golongan apapun.
"Saya harap (pemeluk agama) yang mayoritas dan minoritas di Yogya dan Indonesia bisa bersatu dengan tetap ngugemi (menghargai) budaya bangsa," ujarnya.
Hemas masih percaya tak ada senjata yang lebih ampuh jika masyarakat bisa bersatu tanpa mempersoalkan latar belakangnya.
"Saya berharap kelompok minoritas senantiasa terlindungi di Yogya ini, apalagi sekarang masanya dekat pemilu, banyak hoax, memecah belah" ujarnya.
Sebelum kasus senimam ditolak mengontrak terkuak, di Yogya sempat geger pemotongan nisan salib di pusar jenazah umat Katolik di pemakaman Jambon Kelurahan Purbayan, Kotagede Yogyakarta medio Desember 2018 lalu.
Lalu pada Oktober 2018, persiapan tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Bantul dibubarkan oleh sekelompok orang yang menilai tradisi itu perilakua syirik dan bertentangan dengan agama. Juga medio awal 2017 silam Pemerintah Kabupaten Bantul akhirnya memutuskan mengganti camat Kecamatan Pajangan yang beragama Katolik, Yulius Suharta, setelah mendapat penolakan dari warga karena menilai sebagian besar penduduk wilayah itu muslim.