TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DIY menyatakan sangat menyesalkan munculnya aturan diskriminatif di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul Yogyakarta.
Baca juga: Pelukis Ditolak Ngontrak di Yogyakarta, Tokoh: Kearifan Lokal
Para tokoh masyarakat di dusun itu membuat kesepakatan sejak 2015 yang intinya melarang warga non muslim dan aliran kepercayaan tinggal di kampungnya meski hanya sebatas mengontrak.
Hal ini terungkap setelah seorang pelukis yang beragama Katolik mengontrak di Dusun itu. Belakangan ia diminta pindah karena berbeda agama.
Setelah ramai pihak mengecamnya, termasuk pemerintah daerah, para tokoh dusun itu baru mengaku khilaf dan akhirnya mencabut aturan itu.
“Gara-gara nila setitik itu, Yogya langsung dicap intoleran oleh masyarakat luas, kami menyesalkan sekali aturan seperti itu bisa muncul,” ujar Sekretaris DIY Gatot Saptadi dalam konferensi pers, Jumat 4 April 2019.
Dari kejadian di Dusun Karet itu, Gatot menuturkan pemerintah DIY kini mulai getol menelusuri aturan-aturan diskriminatif lain sejenis jikalau juga ada di wilayah lain.
“Aturan seperti ini (diskriminasi agama) jelas illegal, ini jelas salah, kami akan telusuri ada tidak aturan sejenis ini di tempat lain,” ujar Gatot.
Gatot menuturkan, Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X tak mau peristiwa Dusun Karet Bantul itu terulang.
Sultan, ujar Gatot, langsung membuat instruksi gubernur nomor 1/instr/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial yang mulai diberlakukan 4 April 2019 yang ditujukan kepada para bupati dan walikota se-DIY.
Lewat instruksi gubernur itu, Sultan HB X meminta para bupati/walikota menjalankan delapan poin ketentuan.
Pertama, melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinannya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan dan bertempat tinggal.
Kedua, melakukan upaya pencegahan praktik diskriminasi dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menjaga kerukunan hidup beragama dan aliran kepercayaan.
Ketiga, melakukan upaya pencegahan dengan merespon secara cepat dan tepat semua permasalahan di dalam masyarakat yang berpotensi konflik sosial, guna mencegah lebih dini tindak kekerasan.
Keempat, meningkatkan efektivitas pencegahan potensi intoleran dan atau potensi konflik sosial secara terpadu sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundangan.
Kelima, mengambil langkah cepat, tepat, tegas, dan proporsional berdasarkan peraturan perundangan untuk menghormati nilai hak-hak asasi manusia untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat intoleran dan atau potensi konflik sosial.
Baca juga: Non-Muslim Ditolak di Bantul, Pemda: Siapapun Berhak Tinggal
Keenam, menyelesaikan berbagai permasalahan yang disebabkan oleh suku, agama, ras, antar golongan (SARA) dan politik yang timbul dalam masyarakat dengan menguraikan dan menuntaskan akar masalahnya.
Ketujuh, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanganan konflik sosial sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur DI Yogyakarta nomor 107 tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial kepada organisasi perangkat daerah, kepala desa, sampai dengan masyarakat di lingkungan kabupaten/kota.
Ke delapan, segala bentuk keputusan atau kebijakan agar disesuaikan dengan instruksi gubernur ini.