TEMPO.CO, Yogyakarta - Kepala Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta, Iswanto, meminta maaf karena telah menerbitkan aturan diskriminatif yang melarang pendatang non-Muslim tinggal di kampung tersebut.
Baca: Pelukis Ditolak Ngontrak di Yogyakarta, Tokoh: Kearifan Lokal
Kepala Dusun Karet, Iswanto menyatakan kekhilafannya karena membuat aturan tersebut. "Kami khilaf. Itu karena kemampuan sebagian sumber daya manusia di desa kami rendah," kata Iswanto ketika dihubungi, Kamis, 4 April 2019.
Iswanto mencabut aturan yang dia tandatangani bersama Ketua Kelompok Kegiatan Ahmad Sudarmi setelah ada mediasi bersama pelukis Katolik, Slamet Jumiarto. Mediasi itu melibatkan Kesatuan, Bangsa dan Politik Bantul, camat, lurah, kepala dusun, dan tokoh masyarakat.
Melalui Fatoni, Kepala Dusun Karet mendapat teguran dari Bupati Bantul, Suharsono. Bupati yang menjabat sejak 2016 itu menegaskan aturan Dusun Karet melanggar konstitusi.
Setelah mediasi, Iswanto menawarkan agar Slamet dan keluarga tetap tinggal di dusun tersebut. Alasan Iswanto menyampaikan tawaran itu karena aturan telah dicabut dan masyarakat desa setempat merangkul Slamet dan keluarga.
Aturan yang melarang pendatang dari kalangan non-Muslim dan aliran kepercayaan dikeluarkan Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet. Isinya tentang persyaratan pendatang baru harus Islam sesuai paham penduduk dusun setempat.
Selain itu, pendatang baru yang menetap juga dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 1 juta untuk kas kampung dan kelompok kegiatan. Bila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan itu, maka ia mendapatkan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, dan diusir dari Pedukuhan Karet. Aturan itu diterbitkan pada 19 Oktober 2015.
Menurut Iswanto, aturan itu dibuat dengan alasan mendapat masukan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, terutama dari RT 07 dan RT 08. Masukan itu kemudian menjadi kesepakatan dusun dalam kegiatan kelompok masyarakat.
Warga Dusun Karet khawatir para pendatang akan membawa dampak seiring dengan pesatnya perkembangan zaman. Di dusun tersebut terdapat setidaknya 300 kepala keluarga yang tersebar di 8 RT. Mereka mayoritas beragama Islam. Hanya satu keluarga yang beragama Kristen. Tapi, keluarga tersebut tinggal di sana sebelum aturan diterbitkan.
Protes Slamet terhadap aturan diskriminatif mendapat perhatian publik. Dalam proses mediasi, Slamet menyebutkan ditawari jalan tengah untuk mengontrak selama 6 bulan. Padahal dia mengontrak selama satu tahun dan sudah membayar Rp 4 juta kepada pemilik rumah kontrakan, Suroyo. Slamet menolak tawaran jalan tengah untuk tinggal selama 6 bulan.
Belakangan muncul tawaran agar Slamet tetap tinggal di kontrakan itu sesuai dengan yang ia inginkan. Slamet belum menjawab ihwal tawaran itu ketika ditanya Tempo. Slamet sedang mengantarkan isterinya ke Puskesmas dusun terdekat.
Iswanto menyebutkan isteri Slamet keberatan dengan tawaran untuk tinggal di dusun tersebut karena keluarga tersebut telah mendapatkan tawaran untuk tinggal di Jalan Wonosari. "Persoalan ini jadi pelajaran buat kami semua," kata Iswanto.
Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Yogyakarta, Agnes Dwi Rusjiyati mengapresiasi langkah tegas Bupati Bantul, Suharsono. Bupati tersebut melakukan hal serupa ketika terjadi penolakan terhadap Camat Pajangan beragama Katolik, Yulius Suharta oleh sekelompok orang pada Januari 2017.
Organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu keberagaman itu menyatakan penolakan pelukis beragama Katolik di Dusun Karet, Pleret, Bantul muncul karena maraknya pengelompokan masyarakat untuk tinggal secara eksklusif. Lembaga tersebut mengamati pengkotak-kotakan kelompok masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.
Dia mencontohkan perumahan berbasis agama, kontrakan berbasis agama hingga kampung yg hanya menerima satu agama. Situasi itu menggambarkan perubahan masyarakat dalam memandang keberagaman dan perbedaan.
Pemisahan aktivitas masyarakat yang homogen turut mempengaruhi perspektif masyarakat bahwa yang berbeda bisa membuat tidak nyaman dan tidak aman. Masyarakat kemudian membuat aturan yang tertulis dan tidak tertulis sesuai keinginan mereka atas dasar kesepakatan. "Mereka merasa yang berbeda sebagai ancaman," kata Agnes.
Agnes mengingatkan pemerintah agar punya perhatian yang lebih serius tentang keberagaman. Penolakan seniman Katolik di Dusun Karet, Pleret menandakan penerapan Pancasila masih bermasalah.
Menurut dia perlu upaya semua kalangan untuk terus mengingatkan pemerintah agar melakukan pendekatan akar rumput bagaimana memahami hidup bersama dengan yang berbeda. Dia mendukung Pemerintah Bantul untuk menyelesaikan kasus-kasus intoleransi yang terjadi secara tegas agar tidak terulang kembali.
Beragam kasus intoleransi sebelumnya terjadi di Yogyakarta. Sekelompok orang merusak sedekah laut pada 12 Oktober 2018 dengan alasan tradisi itu musyrik. Pada 17 Desember 2018, nisan berbentuk salib milik Albertus Slamet Sugiardi dipotong warga Kelurahan Purbayan, Kotagede dengan alasan pemakaman tersebut hanya untuk warga Muslim.
Bakti sosial Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Bantul pada 28 Januari 2018 mendapat penolakan dari organisasi masyarakat Front Jihad Islam, Forum Umat Islam,dan Majelis Mujahidin Indonesia. Mereka menganggap baksos itu sebagai upaya kristenisasi.
Simak juga: Non-Muslim Ditolak di Bantul, Pemda: Siapapun Berhak Tinggal
Di Kecamatan Pajangan Bantul, puluhan warga menolak camat beragama Katolik Yulius Suharta pada Januari 2017. Forum Umat Islam (FUI) Yogyakarta memprotes baliho di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta yang menampilkan gambar model berjilbab pada Desember 2016.